Tiap Sore, Pukul Enam

FlashFiction



Tiap sore, pukul enam.





            Tangannya terulur rendah ke arahku. Matanya yang biru menatapku, teduh. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum tanpa syarat, tulus. “Aku Ade,” ucapnya lembut.

            Kusembunyikan kedua tanganku di belakang tubuhku yang ramping, duduk meringkuk di sofa biru tua di depan TV flat di ruangan yang luas, dengan jendela yang tertutup tirai transparan, masih menyiratkan sinar matahari senja yang kemerah-merahan. Kupandangi tangan kekar kecoklatan itu dengan tatapan kosong.

            Lelaki itu menegakkan kembali tubuhnya yang membungkuk, memperlihatkan jas yang dikenakannya. Jas hitam bermerk dan celana hitam yang selalu terlihat rapi dengan sepatu hitamnya yang mengilap.

            Aku menatapnya bingung. “Ade?” tanyaku polos.


            Lelaki tinggi itu menatapku tepat di manik mata. Membuatku takut. Aku menciut, menaikkan kedua kakiku yang terbalut kain sutra yang lembut ke atas sofa dan memeluk keduanya. Kutenggelamkan wajahku yang kusut di antara lengan yang memeluk kedua kaki. Tak berani.

            Hati-hati lelaki itu duduk di sebelahku – sofanya bergerak dan berbunyi pelan. “Nilam,” lelaki itu bersuara, menyebut sesuatu, nama seseorang barangkali. Entahlah.

            “Nilam,” ulangnya lagi.

            Takut-takut aku meliriknya, wajahnya berubah sendu, lelah, sedih. “Ade?” tanyaku lagi.

            “Ya,” jawabnya tak berpaling, masih menatap TV flat di depan kami, kosong.

            “Siapa Ade?” selalu. Selalu pertanyaan itu yang terlontar dari bibirku yang pucat setiap lelaki itu menghampiriku dan mengucapkan namanya.

            “Ade …” lelaki berambut cepak itu menarik nafas panjang dan menghembusnya cepat.

            “Kenapa?” tanyaku ketika melihat bahunya berguncang. Cairan bening keluar dari sudut matanya, tangannya yang berada dipangkuan mengepal kuat. Lelaki itu menangis, tertahan.

            Pemandangan yang memilukan. Seorang lelaki berjas hitam, lengkap dengan tas kerjanya yang berwarna senada, menangis di samping seorang wanita muda berpiyama, dengan rambut kelewat berantakan, yang menaikkan kakinya ke atas sofa dan memeluk dirinya sendiri di sana, sambil menatap lelaki itu bingung.

            Kuturunkan kedua kakiku dari atas sofa, berpaling, menatap kosong TV flat di depan kami. Diam.

            “Suamimu,” ucapnya tertahan, kemudian berdiri di depanku. Direndahkannya tubuh tinggi itu, menatap teduh ke dalam mataku yang kecoklatan, lalu memelukku erat. Tangisnya semakin terdengar di telinga kananku. Aku masih menatap kosong ke arah TV flat di depanku, tubuhku kini ikut berguncang.

            Entah kenapa, mendadak aku merasa nyaman dalam pelukannya, kupikir selamanya. “Selamanya,” ucapku lirih, tanpa sadar. Lelaki itu mengangguk di balik bahu kananku, menarik nafas, kemudian menguraikan pelukan yang tak kubalas.

            “Ya,” lelaki itu tersenyum dan mengangguk lagi, kini di sejajar di depan wajahku. Aku menatap mata itu kosong.

            “You have to sleep,” ucapnya lagi ketika mendadak kurasakan cubitan kecil di lengan kiriku. Suntikan itu lagi. Tiap sore, pukul enam. Ditekannya keningku di satu titik, kurasakan hembusan nafas di atas titik itu. “Night,” ucapnya sebelum kesadaranku menghablur.

Kritik-Saran diterima cuma-cuma :)
Cuma sekedar Flashfict buatan, bila ada kesamaan nama dll, *suer deh* gak sengaja :p
Like this one? 


Unborn 8.0 Aqua Pointer
Kejut.com
Facebook Twitter RSS