Ve's story
written by
Anggita Rachma
Selasa, 31 Januari 2012 at 9:36 PM
0
comments
Labels :
Read These
“Gue mau lo jadi pacar gue,” suaranya bergetar, sarat emosi.
“Ngg..??”
“Lo gak bisa giniin gue terus,” kini tubuhnya mulai bergetar.
“Lo bisa cari yang lain ‘kan? Sekolah ini didominasi cewek, right?” ucapku, masih tak menatapnya.
“Dan gue pilih lo,” ucapnya tegas.
“Dan lo juga tau kalo gue bukan pilihan,” ucapku kemudian berjalan ke lorong kelas XI.
“Lo…” cowok itu mencekal lengan kiriku dan menyentakkanku ke dinding, seketika semua mata tertuju pada kami. “Lo gak bisa nolak gue, gak akan,” bisiknya di telinga kiriku lalu pergi menuruni tangga.
Begitulah kehidupanku, seorang cewek biasa, tak terlalu pintar, malah sering mengikuti remidi untuk mata pelajaran yang memang aku tak bisa mengikutinya dengan benar. Percayalah, aku bukan siapa-siapa, kalau bukan karena cowok itu, aku takkan pernah ‘terlihat’ di sekolah yang lebih mirip gereja ini.
“Kenapa gak lo terima aja sih, Ve,” ucap Rena, cewek dengan wavyhair yang membuat semua orang melihatnya tanpa berkedip saking hebatnya gelombang itu terhempas ke kanan dan ke kiri saat cewek yang setia menjadi sahabat, pelindung, penekan emosi dan sekaligus menjadi kakakku di lingkup sekolah itu berjalan anggun di sampingku.
“Kenapa nggak lo aja yang pacaran sama dia?” sahutku ketus.
“Tapi, Ve…”
“Udahlah, Kak…” aku memohon dengan sangat, aku akan memanggilnya ‘Kakak’ saat benar-benar kurasakan ketidaksanggupanku untuk berbicara lagi mengenai suatu masalah.
$$$
Seminggu lebih aku tak melihat cowok itu berkeliaran di lorong kelas XI, aku menghela nafas. Tak pernah kurasakan kebebasan seperti beberapa hari ini, cowok itu tak mendatangiku lagi.
“Tapi, Ve, seenggaknya lo gak perlakuin dia kayak gitu,” ucapnya lagi setelah kami berhasil mencapai kantin yang longgar. Pelajaran sedang berlangsung dan tak ada tugas yang datang, kelas kamipun kosong.
“Gue gak mau bahas masalah ini di ‘meja makan’ gue,” ucapku ketus, “Mbak, soto ayam satu, banyakin kuahnya yaa…”
“Iya, Ve, pedes ‘kan?” seru Mbak Esti, penjaga kantin yang seksi, tak ada yang bisa menyainginya. Bahkan guru-guru paling modispun kalah.
“Iya, Mbak, cepet yaa…” seruku lagi dan menunduk, “Perasaan gue gak enak nih,” merasa tak ada sahutan dari Rena, aku mendongak.
“Lo bener,” Rena mengangguk lesu, “Dia di sini sekarang, tepatnya menuju ke ‘meja makan’ lo ini,” Rena membentuk tanda kutip dengan tangannya kemudian berdiri.
“Kakak, please, jangan tinggalin gue, oke?” pintaku.
“Lo kalah, Ve, dia duluan yang ngasih isyarat ‘kematian’ itu ke gue,” ucapnya seraya pindah ke bangku lain bersama Farah, teman sekelas kami juga. “Good luck, Dek..”
Cowok itu kini sudah duduk di depanku, kursi yang tadi diduduki wanita anggun yang
ku percaya itu kini diduduki cowok sangar dengan bajunya yang ~sengaja atau tidak~ keluar dari celana panjangnya. Dia tersenyum menatapku, aku membuang muka.
ku percaya itu kini diduduki cowok sangar dengan bajunya yang ~sengaja atau tidak~ keluar dari celana panjangnya. Dia tersenyum menatapku, aku membuang muka.
“Lo gak bisa giniin gue terus,” ucapnya.
“Gue gak ngapa-ngapain kok,” sahutku enteng, melihat Mbak Esti mengisayaratkanku untuk mengambil pesananku, aku tersenyum, “Iya, Mbak!” aku bangkit dan melangkah melewatinya begitu saja.
“Mbak, es tehnya satu, eheh tunggu, tawar dua gelas,” ucapku sambil berdiri.
“Anter atau di tunggu sekarang?” tanya Mbak Esti.
“Sekarang aja deh, Mbak, pinjem nampan ya?” Mbak Esti mengangguk.
“Ini, ati-ati ya… barang pecah nih,” pesan Mbak Esti sambil menyodorkan dua gelas es teh tawar dan semangkuk soto ayam yang tadi kupesan, aku langsung membayar semuanya. Aku berjalan santai sambil membawa nampan menuju mejaku lagi.
“Ini buat lo,” ucapku sambil menyodorkan segelas es teh padanya, dan mulai makan. Dia tidak berbicara, hanya duduk manis memandangiku. Setelah selesai makan, aku duduk lumayan lama. Dia tetap tak bersua, dia hanya memandangiku, cewek yang habis makan soto ayam super pedas yang ada di kantin sekolah.
Bel tanda istirahatpun berdering, aku yang menyadari akan adanya serbuan populasi makhluk kelaparan segera bangkit dan berjalan menuju meja Rena. “Ayo ke atas,” ucapku pada Rena.
Rena berdiri, “Dia kenapa, Ve?” tanya Rena heran.
“Gue juga gak tau,” ucapku enteng, aku membalikkan badan, “Gue balik duluan, oke?” ucapku pada cowok yang sedari tadi memandangiku.
Kami berjalan di lapangan parkir, tak ada matahari, dingin. Udara terasa begitu lembab, aku berjalan dengan tatapan kosong, hampa.
“Lo kenapa, Ve?” ucap Rena menyentakkanku ke alam nyata.
“Gue ga tau, gue kok jadi bengong gini ya?” ucapku sambil menggeleng kuat-kuat berusaha tetap sadar.
“Kayaknya lo gak sehat deh,” ucap Rena kemudian menyentuh keningku dengan punggung tangan kanannya. Aku berhenti.
“Gue butuh obat, gue harus pulang, gue gak tahan,” ucapku meneruskan perjalanan ke kelas kami di lantai dua. Rena mengangguk dan berjalan di sampingku.
“Rena, biar gue aja,” ucap cowok itu. Aku berhenti dan menatap cowok itu, sorot matanya berbeda dengan tatapannya beberapa hari yang lau. Tatapannya lembut, begitu dalam, aku tak bisa membaca matanya walau setitikpun.
“Gue mau pulang, lo jangan sampe ninggalin pelajaran cuma karena nganterin orang sakit,” ucapku pada cowok itu, dia terkesiap.
“Gue gak akan ketinggalan pelajaran kalo lo ngebolehin gue nganterin lo sekarang,” ucapnya mantap.
“Udahlah, Ga, biar gue yang nganterin Ve pulang,” ucap Rena tegas pada Ega, cowok yang selau mengikuti langkahku setiap hari.
“Ega, please, lo lebih butuh pelajaran,” suaraku mulai lemah.
“Biar gue anterin lo,” kali ini dengan suara bergetar, Ega memaksa.
“Gue capek, Ga,” baru kali ini aku menyebut namanya. “Ega, please…”
“Gue gak bisa liat lo kayak gini, Ve,” ucapnya sambil meraih tubuhku, memelukku erat di tengah lapangan parkir yang teduh dan dingin. “Gue sayang sama lo.”
“Gue gak percaya sama lo,” ucapku masih dalam pelukannya yang hangat. “Gue mau pulang, Ga, please,” ucapku lagi dan tubuhku merosot, aku kehilangan keseimbangan dan pingsan.
$$$
“Ma…” ucapku seraya membuka mata.
“Nyokap lo lagi makan siang,” suara itu segera membuatku berpaling, mencari asal suara yang aku tak yakin dari mana asalnya. “Maafin gue, Ve…” ucapnya pelan.
“Lo pasti panik dan langsung bawa gue ke sini kan?”
“Enggak, gue cuma nungguin lo sadar di sini.”
Aku mencari jam dinding, “Jam dua,” gumamku.
“Gue gak ninggalin pelajaran kok, lo tenang aja,” ucapnya sambil tersenyum.
“Bagus,” aku suaraku parau, “Rena?” tanyaku kemudian.
“Dia nemenin Nyokap lo, untung ada Rena, kalo enggak, Nyokap lo gak akan mau makan.”
“Mama gak pernah bisa makan sendiri,” gumamku lemah, tersenyum.
“Gue sayang sama lo.”
“Maafin gue, Ga, maaf…”
“Lo gak salah kok, itu semua salah gue, gue yang terlalu kasar sama lo, gue sering nyakitin lo,” suaranya bergetar. “Tolong maafin gue, Ve…” Ega menunduk, dalam.
“Asal lo harus lulus dengan nilai yang bagus, oke?”
“Gue janji.”
“Gue gak akan janji apa-apa ke elo, dan lo juga gak boleh ngasih janji apapun ke gue,” ucapku dengan penuh penekanan di sana-sini.
“Oke.”
$$$
Musim yang tak menyenangkan, air di mana-mana. “Gue benci air,” ucapku seraya membuka payung hitamku. “Gue gak mau sakit,” ucapku kemudian melompati selokan dan berjalan ke halte di seberang jalan.
“Gue capek nunggu lo tiap hari,” ucapnya sambil berjalan ke arahku.
“Siapa suruh lo nunggu-nunggu gue?” sahutku ketus.
“Gue takut lo kenapa-napa,” ucapnya kemudian berdiri tepat di belakangku.
“Ngapain lo di situ?” tanyaku pada Ega yang basah kuyup habis berlari melewati hujan yang lumayan lebat yang sekarang sedang kutatap dengan nanar, yang sedang berdiri tepat di belakangku. Seketika punggungku terasa dingin, kemudian hangat. Dia sangat, sangat dekat. Aroma tubuhnya masih tercium oleh hidungku yang bahkan hampir tersumbat.
“Gue…”
Aku balik badan dan melihatnya tersenyum, senyum yang tak bisa kubaca. “Lo kenapa?” tanyaku heran melihat ekspresinya.
“Gue kedinginan, Ve,” ucapnya seraya memelukku. “Gue kedinginan, Ve,” bisiknya di telinga kananku. Tubuhnya agak bergetar, menggigil.
“Lo gak bisa seenaknya peluk-peluk gue,” kataku sambil mendorong tubuhnya.
“Maaf, Ve, tapi gue kedinginan,” Ega memelukku lagi, kali ini lebih erat tapi tak membuatku sulit bernafas.
“Lo tau, gue juga kedinginan,” aku mencoba mendorong tubuhnya sekali lagi, Ega mundur selangkah.
“Kalo gitu, kenapa lo tolak pelukan dari gue?” tanyanya masih memegang kedua lenganku.
“Gue mau pulang, Mama udah dateng,” ucapku sambil melirik ke arah kiri, di dalam mobil kulihat Mama tersenyum.
“Maaf, gue terlalu banyak buat kesalahan,” Ega melepaskan lenganku dan tersenyum pada Mama. “Ayo, gue anter sampe mobil lo,” ucapnya sambil menggandengku.
Mama ngapain lagi pake senyum-senyum gitu, batinku sambil mengikuti langkah Ega. “Ma,” panggilku sambil mengetuk kaca pintu mobil, aku melihat Mama menunjuk jok belakang. Aku disuruh duduk di belakang? Gak salah nih? aku mengerutkan keningku tanda tak mengerti. Mama hanya tersenyum dan mengangguk.
Tiga langkah aku berjalan menuju pintu belakang, Mama membuka kaca pintu depan dan menjulurkan kepalanya, “Ega, masuk,” ucap Mama seraya tersenyum pada Ega dan melirikku memohon pengertian. Aku hanya bisa menghela nafas, aku tak bisa menolak permintaannya. Tapi tunggu, dari mana Mama tau nama Ega?
“Man’s first,” ucapku sambil membuka pintu belakang. Ega hanya tersenyum dan masuk ke jok belakang dan segera menggeser tempat duduknya, mempersilakanku duduk.
“Thanks,” ucapku, Ega tersenyum.
“Makasih, Tante,” terlihat dari kaca spion,Mama hanya mengangguk dan tersenyum.
Perjalanan itu terasa lama, tak ada pembicaraan yang patut diceritakan, hanya pertanyaan basa-basi saja yang terlontar, aku tertidur.
$$$
Kudengar kicauan burung dari luar jendela kamarku, aku membayangkan peristiwa kemarin, sangat memalukan.
“ooo”
Aku merasa tubuhku sangat enteng, rasanya seperti terbang, saat kubuka mataku, kulihat wajahnya yang bersih menatap lurus ke depan.
“Ngapain lo gendong-gendong gue!? Turunin gak!?” jeritku histeris dan meronta-ronta. Ega hanya tersenyum dan tak bereaksi, dia tetap berjalan dengan santai seperti tak membawa beban hampir setengah kwintal.
“Lo diem aja, ya..” ucapnya tanpa menghiraukan jeritanku.
“Mama…!!!” jeritku lagi.
“Nyokap lo ada di kamar mandi, lo bakal ke kamar sama gue,” Ega tersenyum penuh kemenangan, “Lo sama gue,” Ega menekan kata-katanya.
“Gila lo ya!? Turunin gue! Sekarang!”
“Gue akan turunin lo di kasur empuk lo kok, tenang aja,” katanya seraya membuka pintu kamarku tanpa sedikitpun terlihat kesulitan. Aku memejamkan mataku, malu. “Kamar lo rapi juga.”
Pelan, Ega menidurkanku di atas springbed dengan bedcover biru tua di tengah ruangan itu, kamarku. Ega meletakkan bagian bawah tubuhku, kemudian kepalaku, Ega mendekatkan kepalanya ke kepalaku dan menutup matanya, aku menekan kepalaku ke bantal mencoba menjauhkan kepalaku dari wajahnya yang semakin mendekat.
Sebuah ide berkelebat di otakku. Dengan cepat aku memegang kepalanya dengan kedua tanganku yang bebas, seketika Ega membuka lebar matanya, kaget. Aku menyatukan kedua kening kami ‘DUKK!!’ dengan kekuatan yang lumayan kuat, *orang panik gimana sih?
Alhasil Ega menjauhkan kepalanya, aku menghela nafas lega, “Lo mau ngapain, HA!?” jeritku sambil bangkit duduk dan memegangi keningku seperti yang Ega lakukan.
“Gue mau nyium elo, Ve,” jawabnya sambil meringis menahan sakit. “Gue gak tahan, maaf ya, Ve?” ucapnya.
“Lo!?” ucapku geram.
“Maaf, Ve, tapi…”
Seketika aku membeku, bibirnya yang dingin menyentuh bibirku. Bibirnya bergetar, siap melakukan ‘aksi’nya. Manyadari hal itu, aku yang masih memiliki segenap kesadaran, mendorong wajahnya yang dingin menjauh dari wajahku. Aku menatap kedua mata yang sarat kerinduan itu lekat-lekat. “Gue gak suka diginiin, lo tau?” ucapku lemah dan melepaskan tanganku yang menempel di kedua pipinya.
“Maafin gue, Ve,” ucapnya. “Gue..” suaranya bergetar lagi.
“Gue maafin lo, tapi inget, lo gak akan lakuin hal kayak gitu lagi ke gue,” pintaku.
“Gue gak akan janji sama lo, Ve,” Ega tersenyum pahit.
“Bagus,” ucapku mantap.
“ooo”
Aku tersenyum lagi, “Gue maafin lo kok, Ga.” Aku kembali berbaring karena, yah, heri minggu tanpa dosa dan kegiatan menyapaku.
$$$
“Gue boleh pinjem buku-buku lo?” tanya Ega padaku yang sedang menyeruput teh hangat yang baru datang dari pegawai baru Mbak Esti.
“Boleh kok,” kataku sambil menyeruput teh hangat itu lagi.
“Kalo gitu nanti sore gue ke rumah lo, oke?”
“Gak papa sih,” jawabku enteng. “Nanti juga pinjem sekalian punya Rena, siapa tau buku catatan gue perlu direvisi, ya ‘kan Re?” aku berpaling pada Rena yang sedari tadi bengong. “Re?”
“I-i-iya, boleh kok, Ga,” Rena tergagap, “Kapan lo mau ambil?”
“Besok aja ya? Nanti gue mau main dulu ke rumah Ve,” ucap Ega sambil mengerling nakal padaku yang langsung kutimpali dengan senyuman sinis.
“Lo kenapa, Re?” tanyaku melihat perbedaan yang ada pada diri ‘penekan emosi’ku itu.
“Hh? Emh.. G-gue gak papa kok, Ve,” ucapnya mencoba untuk bersikap biasa.
“Kenapa sama cowok lo?” Ega menimpali, aku hanya melongo mendengar pertanyaan Ega, karena setauku Rena gak ada punya cowok.
Aku langsung mengkonfirmasi kebenaran pertanyaan Ega, “Lo punya cowok, Re?” tanyaku sedikit kelewat pelan.
“Maaf, Ve, gue belum cerita ke elo, abisnya, elo pacaran mulu sih sama Ega,” Rena manyun.
“Kenapa lo gak melek-melek sih, Re?” tanyaku gemas, “Gue gak ada pacaran sama Ega, dasar dianya aja yang dari dulu ngejar-ngejar gue, lo tau sendiri ‘kan?” Rena tersenyum.
“Ve bener, Rena, gue yang ngejar-ngejar dia, dianya aja yang gak sadar kalo gue bener-bener sayang sama dia,” ucap Ega antusias.
“Emang gila lo, Ga! Gue gak nyangka segitu sayangnya lo sama gue sampe rela ngomong kayak gituan di depan umum kayak gini, dasar aneh!” aku berpaling ke Rena.
Kulihat tatapannya terfokus di satu titik, sebuah meja dengan dua makhluk berbeda jenis sedang berfoto-ria sambil mengeluarkan jurus ‘narsisme’ mereka masing-masing di pojok stand makanan yang sama. Aku menyenggol kaki Ega di bawah meja, Ega pun menatapku dan kubalas dengan menunjuk meja di pojokan stand itu dengan isyarat mata. Ega berpaling ke tempat yang kuisyaratkan dan Ega mengerti.
“Rena?” aku menatap Kakak gadunganku dengan cermat, tak pernah kulihat Rena memiliki tatapan sekosong saat ini. “Rena?” ucapku lagi, kali ini menyentuh pundaknya lembut. “Kita balik yuk?” Rena mengangguk.
$$$
“Gue tau tadi lo sempet kecewa ‘kan sama Rena,” Ega lebih seperti berpendapat bukan bertanya. Kami sedang dalam perjalanan pulang dari rumah Rena.
“Tau dari mana lo? Sok tau!” aku menatap jalanan yang basah karena hujan.
“Dari sorot mata lo, gue tau,” ucapnya sambil tersenyum.
“Gue tau, lo ngeremehin cowoknya Rena.”
“Lo tau dari cara gue ngomong ‘kan?” sahut Ega masih dengan kemudinya. “Itu berarti lo belum ngerti gue, Ve,” ucapnya lemah, sedih.
“Gue emang gak ngerti lo kali…” aku memutar bola mataku, Ega melihatnya, aku yakin, karena dia tersenyum saat aku meliriknya.
“Gue pengen ………. gue, Ve, pengen banget,” aku samar mendengar suaranya karena klakson sebuah truk dengan lampunya yang besar dan menyilaukan membuat pikiranku seketika terpecah.
“Lo ngomong apa?” tanyaku lagi setelah truk besar itu agak jauh melewati kami. Ega menghela nafas panjang, menepikan mobil hitamnya dan menunduk dengan khidmat.
“Gue pengen denger yang sejujurnya dari elo, Ve,” ucapnya mantap dengan mata yang tajam menghunus. Aku bisa melihat dan merasakan aura tubuhnya yang sarat emosi, penjelasan dan pengertian. Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.
“Oke, Ega,” aku memejamkan mata, “Guntur Segara, maafin gue,” ucapku memainkan tali tas kecil yang ada di pangkuanku. “Gue gak tau harus mulai dari mana, tapi,” aku menghela nafas panjang.
Lama aku menunduk, aku tak berani menatap kedua bola matanya yang sarat pengertian. I don’t know what to do, Ga, batinku. Aku tetap diam, menunduk semakin dalam dan dalam, hingga tak kuasa aku menahan tangis, aku terisak, menangis tertahan.
Ega tak melakukan apapun, Mungkin dia juga gak tau harus ngapain, batinku, tapi aku salah. Ega menghadapkan tubuhnya ke arahku, merengkuh tubuhku yang bergetar dan sarat emosi untuk diluapkan. Ega memeluk dan mencium puncak kepalaku, berkali-kali. Aku menangis.
Berpuluh menit sudah aku menangis, tak terasa sudah pukul tujuh malam. “Ve,” ucapnya lembut, “Udah jam tujuh, mau pulang sekarang ‘kan?”
Aku mengangguk, berdeham dan menarik tubuhku dari pelukannya. “Thanks, Ga.”
Hanya sepuluh menit, mobil Ega sudah mantap terparkir di halaman depan rumahku. “Gue seneng liat lo nangis, Ve,” Ega tersenyum. Aku menatapnya heran.
“Hmm?”
“Sekarang gue tau, sama siapa aja lo bisa nangis, dan salah satunya sama gue,” masih dengan senyumnya.
“Lo gak akan paksa gue buat ngomong tentang apapun lagi ‘kan?”
“Enggak, Ve sayang,” Ega tersenyum, aku berani sumpah! Sangat manis. Wajahku panas, mungkin sekarang sedang terjadi bombardir di wajahku, hanya saja tak terlihat karena keremangan cahaya yang temaram di taman depan rumahku.
“Gue pengen liat lo ada di kamar gue lagi, Ga,” ucapku sambil membuka pintu di sebelah kiriku tapi dengan cepat Ega menguncinya secara otomatis dari kursi kemudi.
“Gue pengen lo yang lakuin hal itu sekarang, Ve,” Ega tersenyum lebar, terlihat giginya yang putih dan miji timun.
Dengan kesadaran penuh, aku memeluknya, Ega membalas pelukanku, lama kami berpelukan sampai-sampai aku yakin Mama curiga apa yang kami lakukan di dalam mobil yang gelap.
Aku mengendurkan pelukanku diikuti Ega, aku menatap matanya yang hitam pekat tertimpa cahaya temaram, wajahnya belang-belang tertimpa bayangan dedaunan di taman. Tanganku berpindah ke kedua pipinya dan aku mencium pipi kanannya, Ega tersenyum dan mencium pipi kiriku.
“Thanks, Ve,” ucapnya setelah aku menurunkan kedua tanganku dari wajahnya.
“Sekarang lo adalah Papaver somniferum tulen, original dan permananen buat gue,” ucapku setelah keluar dari mobil hitam pekat itu. Ega tersenyum dan melesat cepat menyusuri jalanan malam.
$$$
“Pagi, Ma,” aku menyapa Mama yang sedang menyiapkan sarapan, kegiatan wajib kami setiap hari. Setelah malam itu, Ega jadi lebih sering ke rumah. Bukan untuk menjemputku, tapi untuk menemui Mama. Entah ilmu apa yang Mama punya, tak ada seorangpun yang bisa menolak keinginan Mama, termasuk aku sendiri, Rena dan sekarang Ega. Mama memang hebat!
“Pagi,” Mama tersenyum, kelihatannya sangat bahagia pagi ini.
“Mama kenapa yaaa?” ucapku manja.
“Mama bahagia, Sayang,” ucap Mama sambil memasukkan Apii graveolentis Folium ~daun seledri~ ke dalam masakannya. “Mama tau kamu lagi bahagia, iya ‘kan?”
“Udah ah, Ma, ayo makan,” ucapku seraya menuang sayur yang dibuat Mama ke dalam mangkuk besar, “Gak biasanya Mama masak segini, emang ada yang mau dateng pagi-pagi gini?”
“Udah, ayo makan,” ajak Mama menunjuk meja makan dengan dagunya karena ada mangkuk besar di kedua tangannya. Kami duduk berhadapan.
“Ma, menurut Mama, Ega itu baik gak sih?” tanyaku di sela-sela sarapan kami.
“Menurut Mama baik, emang kenapa? Kamu gak yakin sama dia?” ucap Mama sambil meminum seduhan daun yang berasal dari tanaman Camellia sinensis~tanaman teh.
“Mama tau apa yang malem itu dia bilang ke aku?”
“Ya enggaklah, mana Mama tau, kalian ‘kan ada di dalem mobil, mana gelap lagi, lampunya gak dinyalain,” ucap Mama bertubi-tubi memojokkanku.
“Maaf, Ma, Ve gak bermaksud gitu…”
“Kamu tau, Ega itu seorang yang, yah.. bisa dibilang romantis dan realistis, kayak kamu, kamu percaya?”
“Engg… gak juga deh, Ma,” ucapku sambil meraup segenggam kacang mete yang berasal dari tanaman Anacardium occidentale dan memakannya satu persatu. “Soalnya Ega itu dulu anaknya gak jelas banget.”
“Memangnya kenapa?” tanya Mama antusias.
“Kalo Mama jadi aku, Mama pasti lebih gampang emosi, hehehe… Untung aja aku cuek, jadi masalah kayak gitu gak terlalu aku pikirin, aku ke sana ‘kan niat cari ilmu, bukannya cari pacar…”
“Kamu tau apa yang Ega bilang ke Mama waktu dia mau gendong kamu ke kamar?” ucap Mama yang seketika membuat semburat merah di wajahku, mengingat hal memalukan yang terjadi saat itu, aku menggeleng.
“Mau tau dongg….” rengekku.
“Tanya aja sama orangnya, tuh,” Mama menunjuk ke arah pintu dengan dagunya, aku menoleh hampir 180 derajat. Ega di sana, tersenyum lebar di ambang pintu, kemudian masuk dan duduk di sebelahku.
“Lo ngapain ke sini?” tanyaku takjub, setauku, Ega tak pernah bisa bangun pagi.
“Gue mau ikut sarapan, boleh ‘kan Ma?” Ega tersenyum dan Mama membalasnya.
“Mama!?” jeritku. “Sejak kapan Mama gue ngelahirin anak kaya lo? Dia itu Mama gue. Ma-ma-gu-e! MAMA GUE!”
“Iya, Ve sayang, gue tau,” Ega tersenyum, “Toh bentar lagi Mama lo juga bakalan gue panggil Mama, right?” Ega mengerling nakal.
“Mama…” aku merengek dan berdiri kemudian memeluk Mama dari belakang, Ega tersenyum melihat tingkahku yang manja pada Mama, walaupun aku biasa melakukannya, Ega selalu tersenyum melihat hal itu.
Setelah selesai sarapan, aku dipaksa berangkat bareng Ega. “Kalo gak karena Mama gue, gue lebih pilih naik sepeda, tau lo..” ucapku setelah duduk di samping kursi kemudi.
“Iya, Ve, gue tau,” Ega menyalakan mesin mobilnya, mengangguk pada Mama dan pamit untuk berangkat, “Mama, Ega sama Ve berangkat dulu yaa…”
$$$
“Gue gila ya? Bisa-bisanya gue suka sama Ega,” ucapku pada Rena di kantin, sama longgarnya seperti dua bulan yang lalu, saat Ega hanya melihatku makan dan akhirnya pingsan.
“Gue sih udah nyangka bakal kayak gini, ehehe…” Rena nyengir.
“Maksud lo?” aku membulatkan mataku maksimal.
“Iya, ini semua persis seperti yang lo kira,” jawab Rena enteng.
“Rena bener, Ve,” Ega berbisik di telingaku, membuatku merinding. Ega tertawa. “Hahahaha… Kapan lo gak merinding waktu gue sentuh lo, Ve?” ucapnya setelah berhenti tertawa dan duduk di seberang kursi kami.
“Lo jahat juga, ya?”
“Udahlah, Ve..” Rena mencekal lenganku saat aku mencoba memukul Ega dengan sendok.
“Ekhem…” Ega berdeham, “Gue mau ngomong serius sama lo, Ve,” Ega mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku menaikkan alisku dan menggeleng. “Jadi, lo gak mau tau?”
“Bukannya gitu, tapi…”
“Apa perlu gue paksa lagi?” Ega menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan bersandar di sandaran kursi plastik kantin.
“Lo tau gue gak mau,” jawabku ketus.
“Ve?” matanya menyorotkan kegelisahan. Dia mau apa? Akhirnya aku mengikuti Ega sampai ke depan gudang di lantai dua.
“Mau apa kita di sini?”
“Gue cuma mau bilang kalo gue sayang sama lo, apapun yang terjadi, gue akan tetep sayang sama lo,” ucap Ega penuh penekanan di sana-sini, membuatku bingung sekaligus khawatir. Ega langsung pergi begitu saja. Aku hanya melongo menatap punggung yang kini menjauh dan hilang di belokan yang menuju tangga ke lantai dasar.
“Lo kenapa, Ga?” gumamku pada diri sendiri yang sudah merosot lemas dan terduduk di depan pintu gudang. “Apa itu tadi salam perpisahan?” aku menggeleng kuat-kuat, menepis kata ‘keramat’ itu. “Ega, gue tau lo sayang sama gue, karena gue sayang sama lo,” ucapku lebih seperti menyemangati diri sendiri, aku hampir terpuruk hanya karena pikiran yang berkelebat seenaknya di kepalaku, aku tidak menghiraukan pikiranku lagi. Aku berlari menuruni tangga yang baru saja dituruni Ega, dia masih di sana.
“Ega?” panggilku pelan lalu mendekatinya. Bahunya bergetar, “Lo kenapa, Ga? Bilang sama gue,” ucapku khawatir dan mengguncang lengannya semampuku. “Lo harus duduk, Ga, jangan berdiri kayak gini terus,” ucapku lagi setelah 15menit melihat bahu yang semampai itu berguncang hebat.
Aku menghela nafas, berat. “Duduk,” suruhku sambil menarik tubuhnya turun ke posisi duduk dan memeluknya, Ega tak membalas pelukanku. Aku menunggu, Ega tetap tak merespon pelukanku, tapi kini bahu itu sudah tak bergetar, seketika aku menyadari kalau Ega tertidur.
“Gue sayang sama lo, Ga, entah sekarang lo denger atau enggak, gue sayang sama lo, lo tau?” ucapku, kini bibirku bergetar. Semoga gak ada apa-apa ya, Ga, gue sayang sama lo, batinku sambil tersenyum.
$$$
Satu tahun kemudian… J
“Gue gak tau harus gimana menyikapi Ega yang sekarang,” ucapku pada Rena yang sedang mengaduk susu yang menempel di gelas jusnya, jus dari Persea americana, jus yang sedari tadi kulihat dengan tatapan ingin, “Mbak Esti, advokatnya satu, jangan lembut-lembut yaa,” ucapku memutar kepala ke belakang. “Gue jadi kepingin, eheh,” aku nyengir.
Rena memutar bola mata, “Kenapa gak bilang dari tadi?”
Aku hanya menyeringai, “Lo inget, Re? Dulu gue selalu was-was kalo masuk ke sini,” gumamku sambil menyapukan pandangan ke seluruh penjuru kantin sehat itu.
“Ega anak baik kok, Ve, lo tau itu,” Rena menatapku lembut.
“Gue percaya sama kalian berdua, jangan kecewain gue ya, Re?” aku memohon.
“Oh iya, Ega nitip salam buat lo, dia kangen katanya, ‘Gue sayang sama Ve, sayaaaang banget!’ dia selalu selipin kalimat itu tiap telepon gue dan keluarga,” Rena mengutip kalimat Ega dengan mudahnya.
Aku tersenyum, “Lo harusnya masuk sekolah drama, Re.”
“Gue sih pengennya dulu juga gitu, gue cantik tinggi, pinter acting, atau…” Rena berpikir. “Atau mungkin gue ikut kelas model aja ya, Ve?” Rena tersenyum.
“Cocok tuh,” ucapku setelah meneguk jus advokatku hingga tiga perempat gelas. “Nanti gue bisa kenal sama model-model terkenal,” ucapku sambil membayangkan Rena dengan rambutnya yang wavy abis, berpose bersama model-model lainnya dengan gaun yang indah-indah. “Dan gue akan fotoin lo, berapapun yang lo mau, gue akan jepretin,” ucapku antusias.
“Makasih ya, Ve,” Rena tersenyum untuk kesekian kali di kantin yang tinggal beberapa bulan lagi bisa kami tongkrongi saat jam pelajaran kosong maupun jam istirahat siang. “Lo selalu dukung apapun yang gue lakuin, itu berarti banget buat gue, Ve. Thanks berat!!” jeritnya sambil mencubit kedua pipiku.
“Aidihh..! huuuuh! Kalo nyubit kira-kira dong!” aku meringis dan mengusap kedua pipiku yang memerah.
“Lo tau gak, Ve?”
“Ya mana gue tau, lo aja belum cerita apa-apa,” ucapku ketus lalu meminum lagi jus advokat yang masih terlihat menggiurkan.
“Ega sayang sama lo, cewek cantik dengan rambut hitam pekat yang selalu di kuncir asal-asalan tapi tetep cantik. Cewek pendiem yang cuma usil sama seorang Rena, yang tingginya 160cm tepat 10cm kurang tinggi dari Ega,” ucapnya lagi.
“Gue tau, Re, dia udah buktiin semuanya ke gue,” ucapku tak kuasa menahan senyum, rekahan senyum yang tak terkira lebarnya setiap aku memikirkan dan membicarakan seorang Ega.
“Lo sayang ‘kan sama Ega?”
“Kayaknya gak perlu konfirmasi lagi deh, Re.”
“Lo bener, Ve, kalian berdua emang saling sayang,” Rena tersenyum dan bangkit dari kursi plastiknya.
“Udahan nih? Gue bayar dulu,” ucapku seraya menarik uang kertas bergambar rumah Limas di salah satu sisinya dan memberikannya pada Mbak Esti. “Makasih ya, Mbak.”
$$$
“Gak terasa sekarang gue yang bakalan tempuh tuh ujian,” ucapku sambil menempelkan handphone biru tua ke telinga kiriku.
“Lo harus lulus, Ve, kayak gue gini…”
“Gue gak bakalan kecewain kalian semua kok.”
“Rena cerita apa aja ke elo tentang gue?”
“Dia selalu bilang gini, ‘Ega sayang sama lo’ selalu gitu,” ucapku sedikit manja.
“Rena sepupu yang baik, Ve. Gue yakin dia bisa jagain lo di sana,” suaranya berubah, aku bisa mendengar kepiluan di sana.
“Lo aneh,” aku memutar kursi belajarku dan menghadap springbed dan bed-cover yang kelihatan hangat. Aku melompat ke atasnya dan berbaring.
“Gue aneh? Kenapa?”
“Lo selalu bilang kalo lo sayang sama gue, tapi kenapa lo juga harus bilang gitu ke Rena? Gue jadi curiga deh..” terdengar sentakan nafas dari ujung telepon.
“Lo curiga apa sama gue? Gue gak selingkuh, gak macem-macem kok di sini,” ucapnya lagi, sedikit parau.
“Suara lo berubah, Ga, lo gak kaya Ega yang gue kenal,” aku menghela nafas. “Lo sakit ya? Kenapa suara lo semakin berat tiap lo telpon gue?” aku mulai terpejam.
“Emhh… lo tidur gih, night, Ve, Ega sayang sama lo.”
“Tunggu, kalo misalnya lo bukan Ega, lo lebih baik ngomong dari sekarang, daripada lo terus-terusan bohong dan nantinya gak cuma gue yang sakit, tapi lo juga.”
“Oke, Ve, night,” ucapnya lembut sebelum memutus sambungan telepon itu.
Kenapa gue ngerasa jauh dari Ega? Ega, gue sayang sama lo, jangan kecewain gue, batinku kemudian tidur.
$$$
“Rena, gue gak masuk yaa?” ucapku setelah Rena berkata ‘Halo.’
“Kenapa Ve?” sahutnya dari seberang.
“Gue sakit, Re, tapi gak papa kok, biar surat izin gue susulin besok.”
“Eh, iya deh. Terus Ega udah lo kabari belum?” tanya Rena, nada menyuruh tersirat di sana. Aku terdiam sejenak.
“Enggak,” jawabku datar.
“Udah atau belum? Kok jawabnya enggak sih?” Rena menggerutu.
“Enggak, lagian buat apa?” tanyaku, masih dengan nada datar yang praktis membuat semua orang yang mendengarnya serasa ingin mencekik lalu meraut wajahku dengan penghalus kayu, “Udah deh, dia kan kalo sakit juga gak bilang-bilang, ngapain gue pake acara ngabarin dia?”
Rena diam, cukup lama. “Dari mana lo tau Ega sakit?”
“Eh? Apa lo bilang!? Gue gak begitu denger, biasa, lagi nungguin Mama masak.”
“Eheh, enggak kok, cepet sembuh yaa, Ve..”
“Thanks ya, Re..” Aku menekan tombol merah di bagian kanan atas ponselku. Aku terdiam. Mama memerhatikanku, aku tau.
“Kenapa, Ve? Pusing lagi?” tanya Mama masih dengan tumisannya.
“Zingiberis Rhizoma,” aku tersenyum. “Iya nih, Ma, apa Ve tidur dulu barang sebentar ya?” tanyaku sambil berdiri.
“Ya udah, tidur gih, nanti Mama bangunin kalo makanannya udah siap, oke?”
“Oke, Mam..” Aku berjalan meninggalkan Mama sendirian di dapur. Sesampai di kamar, aku hanya duduk di atas bedcoverku yang masih menjuntai karena belum di rapikan. Aku menatap kosong meja belajarku, sekelebat bayangan muncul di benakku.
Flashback mode : ON
“Lo udah bangun?” tanyaku sambil menatap Ega yang berantakan.
“Gue tidur, ya?”
“Lama. Lo kira gak pegel apa pundak gue? Mana posisi gak enak gini, di tangga lagi, hadeh…”
“Maaf ya, Ve,” ucapnya singkat. Aku mengangguk.
“Kenapa lo nangis?” tanyaku cepat, tak tahan memendam pertanyaan yang sudah satu jam lebih mencoba untuk kutelan saja daripada kulontarkan pada Ega dengan kondisi tak terbayangkan itu, “Air mata lo, tubuh lo, sayangnya, gue gak bisa liat mata lo,” aku tersenyum getir.
“Kenapa mata gue?”
“Dulu lo tau kalo gue sempet kecewa sama Rena lewat mata gue,” aku menatap satu persatu anak tangga di bawah kami. “Dan tadi waktu lo nangis, spontan ada keinginan gue buat liat mata lo, liat mata lo, ya, itu.”
Ega tersenyum tipis, “Sekarang lo berdiri,” suruhnya, akupun berdiri. “Bantuin gue berdiri, gue masih lemes nih,” pintanya setelah aku benar-benar berdiri.
“Lo berat, gue gak mau,” aku membuang muka dan membalikkan badanku.
“Ayolah, Ve,” ucapnya seraya menarik kuat-kuat kedua lenganku dan praktis membuat tubuhku terhuyung ke belakang. Aku terjatuh.
“Aaahh… Lo apa-apaan sih, Ga!?” jeritku sambil meringis. “Tunggu, Ga, kenapa gak sakit ya?” tanyaku masih dalam kondisi yang terlentang menatap atap gedung dan langit di atas lapangan.
“Lo kira karena apa, Ve? Berat tau,” dia tertawa, “Hahahaha… sekarang lo gak akan kemana-mana, hahahaha…”
Aku merasakan getaran bertubi-tubi di punggungku, setelah sadar tubuh Ega yang ada di bawahku, aku mencoba untuk bangun. Sia-sia. Kedua tangan Ega sudah terlebih dulu mengunci tubuhku yang ada di atasnya. Tangan kirinya melingkar di bawah daguku, tapi tak membuatku kesulitan untuk bernafas. Tangannya yang lain melingkar longgar di pinggangku. Sialan nih anak!? Gerutuku dalam hati.
“Jangan berontak ya, Ve, please…” dia meminta, kali ini lembut.
“Kenapa lo selalu giniin gue?”
“Gue sayang sama lo,” Ega berbisik di telinga kiriku. Cowok oval-face dengan dagu yang melekuk manis, dengan bibir tipisnya yang merah melebihi warna bibirku yang sering kugigiti dan cowok yang membuatku merubah pandanganku tentang makhluk yang namanya ‘cowok.'
“Sayang lo bilang? WEW!” aku mencibir.
“Hahahaha..” terasa getaran itu lagi, kepalaku ikut bergetar dan naik-turun karena letaknya di dada Ega. “Gimana yaa… kalo ada yang liat?” Aku bisa merasakan aura negatif dari sana.
“Jangan coba-coba yaa!!” aku memperingatkan.
“Lo kira gue mau apa? Teriak-teriak kaya lo? Enggak, Ve,” suaranya kembali melembut.
“Terus?” aku masih panik, takut kalo tiba-tiba ada anak lain yang lewat dan .. “AARGH!! Oke, lo menang!” aku mencoba tenang, “Sekarang lo mau apa?” tanyaku lemah, sangat, sangat menyadari bahwa apapun yang kulakukan akan sia-sia di tangan Ega.
“Jangan lesu gitu dong…” ucapnya sambil mengetatkan pelukannya, menghirup udara lewat hidungnya yang menyentuh telingaku, aku merinding. “Jangan merinding gitu kenapa? tiap gue bisikin selalu merinding, suara gue nakutin apa?” terdengar ejekan dalam suaranya.
“G-g-gue… Ash! Apa-apppaaaan lo!?”
“Hahaha, tenang, Ve, gue gak akan lakuin apapun, gue cuma pengen peluk lo, cuma itu,” Ega tersenyum, aku merasakannya karena akupun tersenyum dan tanpa kusadari, aku semakin menikmati saat itu. “Makasih ya, Ve…”
Setelah kurasa cukup lama berposisi seperti itu, aku berguling ke kiri, tangan Ega yang sedari tadi berada di bawah dagukupun seketika menjadi bantalan kepalaku setelah tubuhku melekat di lantai.
“Makasih, Ve,” Ega tersenyum lagi, aku memiringkan tubuhku, masih berbantal lengan atasnya.
“Yup!” ucapku kemudian duduk. Ega mengikutiku bangun dan duduk.
“Kita bolos pelajaran, lo tau?”
“Itu karena lo,” ucapku datar tanpa menyalahkan apa yang Ega lakukan.
“Maaf ya, Ve,” Ega menatapku lembut, aku mengangguk.
Flashback mode : OFF
“Ve, bangun, ayo makan dulu, terus minum obat,” suara Mama membangunkanku.
“Iya, Ma,” aku bangun dengan susah payah dan makan. Setelah selesai makan, setengah jam kemudian aku meminum obat dan sebutir obat yang mengandung Chlorpheniramini maleas dan kembali tertidur karena pengaruh tablet kuning kecil itu.
$$$
“Gue udah baikan, iya, Re, bentar lagi gue berangkat kok,” ucapku dengan ponsel melekat di pipi kananku. “Iya deh, gue lagi makan nih, udah yah,” kataku kemudian menggeletakkan ponsel biru tua itu di atas meja.
“Kamu hari ini berangkat sama siapa Ve?” Mama menatapku lembut.
“Sendiri dong, Ma.”
“Hati-hati ya, sayang, apalagi kamu mau ujian ‘kan?”
“Iya, Ma. Ve akan selalu sehat, buat Ve dan buat Mama,” aku tersenyum mendengar perkataanku sendiri.
“Anak baik!”
“Ve berangkat dulu ya, Ma,” ucapku setelah mengelap mulutku dengan tisu dan memundurkan kursiku menjauhi meja makan.
“Hati-hati ya, Ve. Mama gak mau kamu kenapa-napa,” ucap Mama sambil tersenyum, tapi tidak untuk matanya. Bisa kulihat kekhawatiran terpancar dari mata Mama, kudekati Mama dan memeluknya dari belakang.
“Ve gak akan kenapa-napa, Mama,” aku melepaskan pelukan itu, entah kenapa rasanya sedikit berat meninggalkan Mama sendirian di rumah. Be better today! Batinku dan melesat dengan sepeda biru tuaku.
$$$
“Gue gak tau, Re, tiba-tiba aja gue ngerasa berat banget ninggalin Mama, gue…” aku menunduk, memejamkan mata, “gue harus pulang sekarang, Re,” ucapku kemudian turun ke kantor dan meminta izin untuk pulang.
“Hati-hati sama diri lo juga, Ve,” ucap Rena setelah aku kembali ke kelas untuk mengambil barang-barang yang mau tak mau harus kubawa tiap hari ke sekolah seperti buku dan alat-alat tulis lain, belum lagi buku-buku preparat yang lebih tebal dari kamus Indonesia-inggris inggris-indonesia yang digabungkan dengan tulisannya yang kelewat kecil. Benar-benar benda paling mematikan untuk sekedar membuat seseorang pingsan kalau tertimpa salah satunya.
“Tenangin diri lo, Ve.”
“Lo juga, Re, do’ain gue, ya,” ucapku kemudian keluar dari kelas XI A. “Oh iya, Re, jangan bilang apa-apa sama Ega kalo gue izin. Oke?” ucapku melongokkan kepala ke dalam kelas lewat pintu, kemudian tersenyum pada guru matematika, Pak Nanang, dan menunduk kemudian berlari menuju parkiran.
$$$
“Mama! Ma!” aku berteriak sejak memasuki halaman rumah, aku mengitari rumah sampai ke sudut yang ada. “Mama!” teriakku lagi kemudian terduduk di teras depan. Aku menangis.
Brrtt… brrtt… ponselku bergetar di dalam tas sekolahku. Aku segera mengambil benda kecil itu dan memencet tombol hijau yang menyala. “Halo, Ega?” aku menelan bulat-bulat tangis yang hampir pecah.
“Lo kenapa, Ve?”
“Mama gak ada, Ga. Gue takut…” aku mulai lemas, menangis tertahan.
“Mungkin lagi pergi, Ve,” ucap Ega lembut, namun belum bisa membuatku berhenti menangis.
“I-iya juga ya..” aku merasa bodoh. “Tapi, Ga…” aku mulai menangis lagi.
“Tenang, Ve, jangan nagis gini, jangan bikin gue pulang mendadak ya?” ucapnya lagi.
“Enggak. Jangan campurin urusan gue, lo gak perlu pulang,” sahutku cepat sambil menyeka air mataku.
“Oke, Ve, gue akan temenin lo sampe Mama pulang.”
“Iya, Ga, makasih ya?” kataku kemudian masuk ke dalam kamar. “Tunggu dulu, kenapa lo telpon gue hari gini?” tanyaku curiga.
“Gue ngerasa ada yang gak beres sama lo, yaa… gue telpon lo aja, dan ternyata lo butuh gue,” ucapnya sambil tertawa kecil.
“Sialan,” aku mendelik. “Mama?” ucapku setelah mendengarkan suara wanita yang menggantikan suara Ega.
“Iya, sayang?” ucap Mama lembut. “Ega anak baik ‘kan, Ve?”
“Mama ngapain di situ sama Ega? Ve sedih Mama gak ada di rumah, sekarang Mama di mana?”
“Di rumah Ega, tadi pagi setelah kamu berangkat, Ega dateng dan jemput Mama.”
“Ega udah pulang, Ma?” tanyaku kemudian berlari ke teras.
“Iya, sayang, dia mau ngomong lagi nih, daa sayang…”
“Ma?”
“Gue Ega, Ve sayang…”
“Lo culik Mama gue seenak idung lo! Lo sengaja ya? HAH!?” mataku membelalak maksimal.
“Gue sayang sama lo,” ucapnya lembut yang praktis membuatku tersenyum.
“Asal lo tau ya, gue mau ketemu Mama, sekarang, tapi sayangnya…”
“Lo gak pernah tau rumah gue, ya ‘kan?”
“Iya. Di mana rumah lo? Gue mau ke sana sekarang.”
“Lo emang harus ke sini,Ve, tapi nggak sekarang, banyak banget kerjaan di sini.”
“Apa!? Lo nyuruh Mama gue romusha di rumah lo!?” aku berteriak lagi.
“Bukan romusha, Ve, cukup kerja rodi kok, hahahaha …”
“Bener-bener lo!? Di mana rumah lo?”
“Tenang, Ve, satu jam lagi gue jemput lo, dan sekarang lo siap-siap dandan yang cantik ya?”
“Mau apa? Kemana? Sama siapa?”
“Dinner, ke rumah gue, dan nanti lo bakal tau sama siapa.”
“Oke, asal Mama gue selamat. Gue mandi dulu.”
“Gue sayang sama lo,” dan Ega membiarkanku memutuskan sambungan telepon itu.
“Mau apa ya dia?” gumamku sambil menenteng handuk dan alat mandi ke kamar mandi dalam kamarku yang masih kering.
$$$
“Mama?” ucapku melihat Mama yang sudah cantik dengan gaun hitam kecoklatan yang dikenakannya. Mama tersenyum.
“Ayo masuk,” ucap Ega sambil menggandeng tanganku lembut.
“Dinner nih, sama Mama, Ega, Tante Ida, Om Rahman dan…” aku mengedarkan pandanganku mencari-cari sosok makhluk lain yang mungkin masih bersembunyi.
“Adek gue, masih di atas,” ucap Ega sambil tersenyum manis menatapku.
“Adik?” tanyaku binging. “Lo punya adek?”
“Ehem,” ucap Ega sambil mengangguk. “Umurnya sama kaya lo, dia masih kelas tiga juga.”
Aku mangut-mangut. “Dia selama ini di mana? Gue gak pernah liat.”
“Dia ikut orangtua gue.”
“Dia itu gak kayak lo kan?”
“Enggak Ve, seratus delapan puluh radian beda sama gue,” Ega menahan tawanya.
“Gue bisa suka dong sama dia, secara dia seumuran sama gue, beda sama lo pula, hihihi,” aku mengumpat.
“Please, Ve, jangan macem-macem sama gue,” Ega mengancam dengan tatapan ‘kematian’nya.
“Gak akan, Ega. Gue sayang sama lo,” ucapku lalu duduk di kursi meja makan.
Makan malam itu berlangsung khidmat *emangnye upacara apa?!* Sampai adik Ega turun dari lantai dua rumah besar bernuansa coklat terang itu.
“Tuh adek gue,” Ega menatap adik laki-lakinya, akupun melakukan hal yang sama. Setelah adik Ega duduk, aku semakin memerhatikannya. “Ngerasa pernah liat, Ve?” pertanyaan Ega membuyarkan kegiatan pengamatanku, aku berpaling.
“Kayaknya iya, tapi di mana yaa?”
“Lo mau tau? Mulai pagi tadi, gue sekelas sama lo,” ucap adik Ega datar.
“Masa sih?” tanyaku lagi, kali ini dengan sedikit mengernyit aku menatap Ega.
“Kenapa lo liatin gue kaya gitu, Ve?” Ega menahan tawa. “Gue yang minta dia sekolah di sana.”
“Kenapa?” aku bingung setengah mati. Sebelum Ega sempat menjawab pertanyaan penting itu, acara makan malam dan bincang-bincang seputar keluargapun dimulai dan pertanyaankupun terabaikan.
$$$
Aku dan Mama dengan senang hati diantarkan pulang oleh Ega. Setelah sampai di rumah, Mama langsung pamit untuk tidur, “Mama tidur duluan ya? Sedikit capek nih kayanya. Ega, bukannya ngusir yaa tapi cepet pulang, oke?”
“Iya, Ma,” Ega tersenyum sambil mematikan mesin mobilnya.
“Loh-loh, kok mesinnya pake dimatiin segala? Emang lo mau berapa lama di sini?”
“Selama lo mau, Sayang,” matanya berkilat nakal.
“Hayoo, Mama masih di sini juga, udah sayang-sayangan, udah gak malu lagi nih?” Mama menahan tawanya.
“Mama sayang,” ucapku dan Ega berbarengan, kami saling pandang dan Mama bergegas turun dari mobil.
“Inget, yaa… Gak lama-lama, nanti Mama kunci pintu rumahnya. Mama masuk dulu,” ucap Mama kemudian menutup pintu mobil.
“Sini lo,” ucap Ega sambil menunjuk jok depan mobil di samping kemudi dengan dagunya yang melekuk bagus. Tanpa merasa terpaksa, aku menuruti perintah Ega.
“Gue mau ngomong sama lo,” ucapnya datar.
“Apa?” ucapku enteng. Perasaan gue gak enak nih, batinku sambil memerhatikan setiap lekukan di wajahnya.
“Maaf tadi gue gak sempet jawab pertanyaan lo,” ucapnya datar.
“Yang mana?” ucapku sambil memutar kembali percakapan saat makan malam yang mungkin terlewat begitu saja tanpa tercerna secara penuh di otakku.
“Lo udah lupa?! Pertanyaan lo itu penting buat gue jawab, Ve,” ucap Ega lembut sambil mengacak pelan rambutku.
“Yang mana?” aku mengulang pertanyaanku lagi, benar-benar melupakan pertanyaan penting yang Ega maksud.
“Entahlah, lupakan,” Ega tersenyum dan memelukku setelah sebelumnya melepas seatbeltnya. “Maafin semua yang pernah gue lakuin ke elo, Ve, gue khilaf, dan makasih lo udah percaya sama gue selama ini. Gue.. bener-bener ngehargain itu semua.”
“Ega, gue gak ngerti,” ucapku polos sambil mendorong tubuh Ega menjauh. “Bener-bener gak ngerti,” aku menggeleng.
“Lo cuma perlu liat ke dalam mata gue, sepuas lo mau, selagi lo bisa,” Ega berkata dengan penuh penekanan di sana-sini, sarat pengertian.
“Jangan liatin gue kaya gitu, gue gak suka,” ucapku setelah menyadari tatapan Ega yang makin dalam dan pekat dengan kesedihan yang tak terbaca oleh mata dan batinku.
“Lo bakalan lebih sering liat mata gue yang liatin lo kaya gini, Ve, maafin gue,” kemudian memelukku lagi, lebih erat.
“Kalo gitu, gue gak mau liat lo lagi,” ucapku. Kenapa gue pengen banget baca matanya? Dan tanpa kusadari, aku menangis bersamanya. Bahu Ega berguncang hebat, tak terdengar suara dari balik bahuku. “Ega?” panggilku, tapi bahu itu tetap berguncang, bertambah hebat tiap aku memanggil namanya. “Segara? Guntur Segara?”
“Lovana Ika, maafin gue,” suaranya berat, masih dengan senggukan, Ega memelukku.
“Kenapa lo selalu minta maaf sama gue?”
“Maafin gue,” Ega menarik kepalanya dan menyentuh kedua pipiku lembut. Bekas air mata di pipiku masih tercetak di sana.
“Gue yakin, gue akan maafin lo,” ucapku sambil tersenyum dan menghapus sisa air mata di pelupuk matanya. “Gue gak akan pernah, gak akan bisa gak maafin lo, karena gue harus.”
“Maafin gue.”
$$$
“Re, gue bingung.”
“Gue enggak tuh,” ucap Rena santai. Kami sedang duduk di halte depan sekolah, menunggu berhentinya hujan yang semakin sering mengguyur daerah sekolah kami di sore hari daripada di siang hari saat pelajaran berlangsung.
“Gue…”
“Gue anter lo berdua pulang,” ucap seorang cowok, karena hujan yang begitu lebat dan hari yang semakin gelap, hanya bisa kulihat siluet tubuhnya yang lebih tinggi dariku. “Woy! Pada mau gak sih?!”
“Iya, Dha, ayo!” ucap Rena yang beranjak berdiri.
“Gue gak mau, gue mau ujan-ujanan dulu,” ucapku datar.
“Ayolah, Ve, lo mau gue seret?” ucap Adha, adik laki-laki Ega.
“Ega gak di sini, gak usah takut.”
“Lo tuh ya?!”
“Apa? Lo gak usah ngatur gue, ya?!” suaraku mulai meninggi.
“Udahlah, Ve. Apa salahnya lo bareng kita?” Rena menengahi sebelum Adha sempat membalas suaraku.
“Re, please, gue gak mau,” ucapku lirih.
“Kenapa lo giniin gue? Apa salah gue?” ucap Adha lembut sambil duduk di sampingku.
“Lo gak perlu jadi Ega buat gue.”
“Gue gak pernah coba jadi Ega buat lo, karena Ega ada di sana.”
“Gue gak percaya sama lo. Gak bisa!”
“Lo gak bisa gini terus, Ve.”
“Kenapa? Kenapa lo begitu mirip sama Ega?! Kenapa?! Apa lo pikir lo bisa gantiin Ega?! HAH?!” suaraku mengagetkanku. Membangunkanku dari mimpi burukku. Aku menangis tertahan.
Flashback mode : ON
“Maafin gue, Ve,” ucap Ega lirih.
“Tapi kenapa, Ga?” aku memegang tangan Ega, erat, sangat erat. Aku menangis tertahan di ruangan putih dengan berbagai alat medis itu. Bau obat-obatan yang sudah biasa kucium di laboratorium, benar-benar terasa begitu pekat, menyesakkan. Lebih menyesakkan saat kulihat tubuh Ega terbaring lemah di hadapanku. “Kenapa?”
“Gue sayang sama lo, Ve, lo harus tau itu.”
“Kenapa?”
“Maafin gue, Ve.”
“Tapi kenapa, Ga?”
“Lo yang ajari gue, Ve. Lo lupa ya?” Ega tersenyum dengan rasa sakit yang mulai menjalari tubuhnya.
“Jangan pernah lo janji apapun ke gue,” aku tersenyum pahit.
“Lo inget ternyata, biasanya lo lupa, iya ‘kan, Ve?” suara Ega mulai hilang.
“Lo gak perlu kuatin gue, Ega. Gak usah sok deh lo,” aku mencium tangan kanannya.
“Gue gak akan kuatin lo, Ve, karena gue tau,lo cewek terkuat yang pernah gue temuin, gue sayang, dan…” suara Ega benar-benar hilang.
“Lo cinta ‘kan sama gue?” aku menggenggam tangannya kuat, lebih untuk menguatkan diriku sendiri. Ega mengangguk sambil tersenyum menahan sakit, aku seakan bisa merasakan sakit yang dideritanya. Benar-benar sakit!
“Gue cinta lo, Ve,” Ega tersenyum padaku untuk terakhir kalinya, menutup matanya di depanku untuk terakhir kalinya. Memberikan tatapan yang selama ini ingin sekali kupahami dengan segenap jiwaku. Matanya menyiratkan cintanya padaku, pada orangtuanya dan adiknya, Adha. Juga untuk Rena dan Mama. Untuk semua orang yang sedang bersamaku di ruangan putih dengan jendela berjeruji besi yang juga dicat putih itu.
“Gue cinta sama lo, Ega. Guntur Segara,” aku mencium keningnya dan beranjak untuk pergi meninggalkan ruangan putih itu.
“Ve?” Adha memanggilku lembut tanpa beranjak dari tempatnya berdiri di sampingku tadi, di samping ranjang Ega yang sudah tak bergeming untuk selamanya. Aku hanya mengangkat tangan kiriku dan membentuk sebuah lingkaran kecil dengan ibu jari dan telunjukku sambil berjalan menjauh. Aku menangis tertahan, sesak.
Flashback mode : OFF
“Maafin gue, Ve,” Adha merangkulku dengan tangan kirinya.
“Ve?” Rena memanggilku, lembut. “Lo harus pulang sekarang, ya? Kasihan Mama lo, mungkin Mama lo sampe sekarang belum makan, lo gak kasihan?” Rena tersenyum.
“Mama?” aku tersenyum. “Mama masak apa ya?” ucapku sambil berdiri dan menghapus sisa air mataku yang tak terbendung. “Makan di rumah gue aja yuk?”
“Ve?” Adha menatapku, khawatir.
“Gue gak pa-pa kok, Dha,” ucapku setelah menghapiri adik kesayangan Ega dan menyentuh kedua pundaknya. “Makasih, ya?”
Adha memandang Rena, kemudian berpaling lagi padaku. “Jangan nangis lagi ya, Ve?”
Kali ini aku yang memandang ke arah Rena dan kami saling melempar senyum. “Iya, Yoga Ramdhani.”
Kami pulang dengan mobil hitam itu, mobil yang sering Ega bawa ke rumahku untuk hanya sekedar diparkir di halaman rumahku yang remang saat malam. Hari-hari yang menyenangkan dan sering kali membuatku kesal dengan perilakunya.
Ega. Guntur Segara. Gue cinta sama lo. Gak cuma sekedar sayang sama lo. Maafin gue karena sering bikin adek kesayangan lo khawatir, maafin gue juga, kalo suatu saat nanti adek lo udah gak mau nungguin gue lagi. Bukan Adha yang salah. Gue yang salah kalo soal itu, maafin gue, ya?
$$$
“Lo cewek kuat, Ve, belum pernah gue nemu cewek sekuat lo,” Adha mulai lagi dengan rayuannya, berharap aku akan meliriknya barang sedetik.
“Gue emang kuat, puas lo?!” aku memelototinya, Adha menahan tawanya yang siap meledak.
“Gue sayang sama lo.”
“Gue harap Ega gak pernah tulis diary, note, atau apapun tentang cara dia dapetin hati gue. Dilarang nyontek!” aku menenggak habis air mineral dingin yang baru saja kubayar seribu delapan ratus rupiah dengan selembar uang dua ribu rupiah yang teronggok di saku rok sekolahku.
“Seratus delapan puluh radian beda, Ve,” Adha merangkulku dengan lengan kanannya.
“Lo?! Lepasin gak?!”
“Adha, lo apa-apaan sih?” Rena ikut ambil bagian kali ini.
“Kenapa Re? Hyaa… Rena pengen punya pacar!!” Adha berteriak hingga seisi kantin berpaling ke meja kami.
“Eheh! Enggak! Enggak! Jangan percaya!” rona merah menyelimuti wajah Rena.
“Kyaa!! Rena! Ada cowok cakep jalan ke sini!” aku histeris melihat seorang cowok masuk ke area kantin dan berjalan ke arah kami. “Temen lo nih?” bisikku pada Adha yang langsung dijawab dengan anggukan.
“Gue mau ke kelas nih, lo ikut Ve?” Adha berdiri dan menatap ke dalam mataku. Aku langsung mengerti tatapan itu, Ega yang mengajariku untuk lebih mengerti keinginan seseorang lewat matanya. “Mata gak pernah bohong,” Ega selalu bilang begitu.
Cowok itu langsung duduk di depan Rena, menatapnya tanpa berkedip. “Rena? Apa lo inget sama gue?” cowok itu bertanya dengan lembut.
“Tunggu dulu bentar, gue mau liat episode langka ini,” bisikku ke telinga kiri Adha yang hampir menyeretku keluar dari kantin.
“Lo mau kaya gitu?” matanya berkilat.
“Enggak deh yaa kayanya, gue cuma seneng ngabadiin aja, gak suka diabadiin,” ucapku seraya mengeluarkan ponselku dan langsung mengabadikan adegan ‘pre-episode-nembak’ itu.
$$$
I remember all my life
Raining down as cold as ice
Shadows of a man
A face through a window
Crying in the night
The night goes into
Morning just another day
Happy people pass my way
Looking in their eyes
I see a memory
I never realized
How happy you made me oh Mandy
“Makasih,” ucap Rena dengan make-up tipis nan simple yang menghiasi wajahnya yang lembut. “Gue gak percaya gue lakuin ini sebelum lo, Ve.”
“Selamat menempuh hidup baru, Kakak Gadunganku,” aku mencium pipinya, komplit, kanan-kiri.
“Kapan lo nyusul?” kutangkap kerlingan nakal di sana.
“Gue? Nyusul apaan? Gue udah lulus ujian lagi,” ucapku asal.
Well you came and you gave me without taking
But I sent you away oh Mandy
Well you kissed me and stopped me from shaking
And I need you today oh Mandy
“Gue gak nyangka, apa yang pernah gue jepret bakal kejadian, hehehe…”
I’m standing on the edge of time
“Makasih, Ve. Lo selalu dukung keputusan gue, gue sayang sama lo!” Rena memelukku, aku membalas pelukannya dengan senang hati.
I walked the way when love was mine
“Gue juga sayaaaaang banget sama lo. Tunggu,” ucapku sambil merogoh tas biru tua kecilku dan mengambil ponselku.
Cought up in the world
Uphill climbing
“Iya, Mama, Ve udah di dalem, nih sama Rena,” ucapku dengan ponsel menempel di telinga kiriku.
Tears are in my mind
And nothing is rhyming oh Mandy
“Tante? Mama lo? Ke sini? Uaaa! Thanks berat deh, Ve!!” Rena memelukku lagi.
Well you came and you gave me without taking
But I sent you away oh Mandy
Suaranya kaya pernah denger deh, batinku sambil melepaskan pelukan Rena.
Well you kissed me and stopped me from shaking
And I need you today oh Mandy
“Mama!” ucapku sambil memeluk Mama.
“Tante, makasih udah mau dateng, Rena seneng banget!” Rena memeluk Mama.
“Makasi udah undang Tante, Re, Tante turut bahagia,” Mama tersenyum.
“Ada yang mau ketemu sama lo,” Rena tersenyum, bukan padaku, melainkan seseorang yang berada di belakangku. Sekali lagi, aku bisa membaca mata Rena.
“Gue balik badan nih yaa?” ucapku dan Rena mengangguk.
“And I need you today, oh Lovana Ika,” Adha tersenyum.
“Jangan bilang kalo yang tadi nyanyi itu elo?” aku mendelik.
“Itu gue, Ve, maaf ya kalo suara gue pas-pasan? Tapi gue udah berusaha latihan tiap hari buat nyanyiin tuh lagu buat lo,” Adha menunduk.
“Oh.. makasih, Yoga Ramdhani,” aku memeluknya. Adha terkesiap dan sedetik kemudian membalas pelukanku.
“Okey, sekarang biar gue yang nyanyi,” ucapku menengadahkan tangan kananku untuk meminta microphone yang sedari tadi dibawa Adha.
“Thanks,” bisikku ke telinga kiri Adha. “Ada yang mau request? Kakak pengantin mungkin? Oh, oke deh,” sekali lagi aku bisa membaca mata mereka, orang-orang yang kusayangi.
Dan begitu aku menyanyi, sunyi. Semua mata tertuju padaku *korbaniklan* mendengar lagu yang sengaja kunyanyikan untuk sepasang Kakak Gadunganku, aku menyayangi semuanya.
Dan aku bernyanyi dengan perasaan paling bahagia, bisa kurasakan Ega menggenggam erat tanganku saat aku mulai menyanyikan lagu itu, lagu yang selalu mengingatkanku padanya.
If you wanna know
Aku melempar senyum termanis dan tertulus untuk mereka, orang-orang yang menyayangiku.
Tomorrow morning I have to leave
But wherever I may be
Best believe I'm thinking of you
I can't believe how much I love
All we have is here tonight
We don't want to waste this time
Give me something to remember
Baby put your lips on mine
And I'll love you forever
Anytime that we find ourselves apart
[Chorus]
Just close your eyes
And you'll be here with me
Just look to your heart
And that's where I'll be
And you'll be here with me
Just look to your heart
And that's where I'll be
Ega bernyanyi bersamaku.
If you just close your eyes
Till your drifting away
You'll never be too far from me
If you close your eyes
Tanpa kusadari, Adha mengambil bagian kedua lagu itu, suaranya menghanyutkan, Ega melepas tangan kananku dan merangkul kami berdua. Aku tersenyum pada sesosok makhluk yang tak akan pernah kulihat lagi secara fisik, aku bisa merasakan Ega menggenggam tanganku, sekali lagi.
Dan di samping bayangan Ega, ada Adha, sedang bernyanyi menyambut suaraku yang mulai bergetar. Adha berpaling padaku, menatapku lekat sambil terus menikmati lagu pilihanku. Aku tersenyum pada dua sosok yang jelas berbeda. Ega dan Adha.
I know I'm gonna see you again
But promise me that you won't forget
Cause as long as you remember
A part of us will be together
So even when you're fast asleep
Look for me inside your dreams
Keep believing in what we're sharing
And even when I'm not there to tell you
I'll, I'll love you forever
Anytime that I can't be where you are
I know I'm gonna see you again
But promise me that you won't forget
Cause as long as you remember
A part of us will be together
So even when you're fast asleep
Look for me inside your dreams
Keep believing in what we're sharing
And even when I'm not there to tell you
I'll, I'll love you forever
Anytime that I can't be where you are
Dan kali ini memasuki chorus dari lagu ini, aku menyambut suara Adha dengan senyum yang belum pernah tercetak di bibirku sebelumnya. Aku bahagia. Thanks, Ega, ucapku dalam hari dan Ega menghilang saat aku berpaling pada Adha.
[Chorus]
[Chorus]
Just close your eyes
And you'll be here with me
Just look to your heart
And that's where I'll be
And you'll be here with me
Just look to your heart
And that's where I'll be
If you just close your eyes
Till your drifting away
You'll never be too far from me
If you close your eyes
Till your drifting away
You'll never be too far from me
If you close your eyes
Kami benar-benar bahagia, untuk Rena dan Haris, Mama, Tante Dara dan Om Rahman, dan untuk kami sendiri.
Is there anywhere that far?
Anytime you're feeling low
Is there anywhere that love cannot reach?
Oh no
It could be anywhere on earth
It could be anywhere I'll be
Oh baby if you want to see
Just close your eyes
And you'll be here with me
Look to your heart
That's where you'll be
Just close your eyes
Till your drifting away
You'll never be too far from me
Lagu itu berhenti, kami menutupnya.
Just close your eyes
If you wanna know…
“Makasih waktunya Kakak,” aku tersenyum pada Rena dan Haris, suaminya. “Semoga langgeng yah?” lalu memberikan microphone hitam itu pada pembawa acara resepsi.
“Suara lo menggetarkan jiwa,” ucap Adha tepat di bawah telingaku yang membuatku merinding.
“Oh,ya?”
Acara resepsi berlangsung seperti acara karaoke, bagaimana tidak? Banyak tamu yang bernyanyi untuk pasangan berbahagia yang sedang duduk di pelaminan. Aku senang-senang saja mendengarnya. Dari musik dangdut sampai underground aku menyukainya.
“Ahh.. akhirnya istirahat juga,” aku menghela nafas.
“Iya, Ve, gue gak nyangka, capek banget! Padahal cuma duduk manis doang…”
“Ve?” Adha memanggilku.
“Iya?”
“Gue mau ajk lo ke suatu tempat. Mau ya?” terdengar nada memaksa tersirat di sana.
“Oke, besok? Lusa? Tahun depan? Gue siap!” ucapku mantap sambil terpejam dan CUP! Aku membuka mataku lebar-lebar. Kulihat wajah Adha hanya terpaut beberapa senti saja dari wajahku. “Lo nyium hidung gue?! Sialan lo?!” akun berteriak tepat di depan wajahnya.
“Gue kangen lo, Ve…” dan Adha menekankan bibirnya ke bibirku, bibirnya basah.
“Gue … gak mau gini lagi,” aku tersenyum dan meninggalkan Adha di ruang ganti pengantin yang kosong itu. “Mungkin lo akan tau kenapa gue bilang gitu,” ucapku setelah berbalik dan melangkah pergi.
“Gue tau, karena gue Yoga Ramdhani,” ucapnya mantap.
“Dan gue Lovana Ika,” ucapku sambil menarik gagang pintu hitam yang akan membuka papan coklat tua itu jika kutekan dan kutarik. Tapi aku tak melakukannya. Adha memelukku dari belakang, tangan kirinya melingkar di leher depanku tapi tak membuatku merasa sesak dan tangan kanannya melingkar pas di pinggangku yang praktis membuat tubuhku menegang. Ega yang biasa melakukannya. Aku tak bergeming.
“Lo…” aku mendasah, masih tak bergerak.
“Gue bukan Kak Ega, tapi gue sayang lo,” Adha memutar tubuhku, sekarang aku menatap matanya, Adha tersenyum. “Gue cinta sama lo, Ve. Lovana Ika,” Adha tersenyum dan memelukku erat sambil sesekali menciumi puncak kepalaku.
Aku tenggelam dalam pelukannya, pelukan hangat, tapi kali ini bukan dari Ega. Tapi Adha. “Gue akan coba,” aku menjauh dan keluar dari ruang ganti pengantin itu, sendiri.
Tidak, aku salah. Sosok Ega muncul lagi, Ega memelukku dari belakang. “Gue selalu cinta sama lo, selamanya,” Ega memelukku sama persis seperti yang pernah dilakukannya ~dengan posisi barbaring~ di sekolah menengah kejuruan itu. Aku merindukannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)