Dan Yuka, Aku Menyusulmu



            Gadis itu duduk sendirian, dengan rambutnya yang dipotong cepak kelewat pendek. Dengan tatapan hampa memandang mading yang ditempeli poster-poster hasil editan siswa di sekolah yang bertema anti rokok. Gadis yang duduk agak merosot itu mengerjapkan kedua matanya yang bulat, kemudian tersenyum dan menengadahkan wajahnya ke langit-langit teras lab resep di lantai dua yang lenggang itu.

            Gadis itu merogoh tas plastik bening yang dipegangnya di atas pangkuan. Dengan masih menengadahkan wajahnya ke atas, cewek itu mengeluarkan benda ~tepatnya, makanan~ yang langsung di arahkan ke mulutnya, mematahkan benda yang terlihat tipis dan renyah itu.

            Merogoh dan mematahkan tiap lembar kripik (baca: rempeyek) renyah itu. Kulihat tangannya mulai sulit menemukan kepingan kecil rempeyek itu dalam tas plastiknya, karena kulihat tinggal satu keping selebar telapak tangannya yang mungil saja yang ada di dalamnya.

            TING! AHA!

            Dengan langkah lebar, aku menghampiri cewek berambut hitam legam yang mulai mematahkan rempeyek terakhirnya dengan giginya yang gingsul.

            Ckrezz!

            Aku mematahkan kepingan terakhir rempeyek kacang yang dimilikinya, dan langsung ikut mengunyahnya sebelum akhirnya duduk di sebelahnya. Gadis itu tetap tak bergeming, masih tetap mengunyah patahan rempeyek kacang tanah yang masih ada di bibirnya. Setelah menelan hasil proses mekanik yang dilakukan gigi dan lidahnya, cewek bermata coklat gelap itu berpaling padaku, menatapku tanpa ekspresi.

            Aku masih mengunyah potongan terakhir rempeyek yang kurebut dari tangan kanannya tadi, saat cewek itu menatapku lekat,
membuatku sulit menelan hasil kunyahanku. Setelah selesai menelan dengan susah payah, aku membalas tatapannya tepat di manik mata coklat berbulu mata lentik itu.

            Gadis itu tetap diam, tak bergeming. Seketika aku mengerjapkan mataku yang coklat terang saat kulihat cewek itu tersenyum ramah, tapi masih tanpa arti. Gadis itu kemudian pergi dengan tas plastik bening yang sekarang terlihat lecek di tangan kirinya.

            Gadis itu berjalan anggun, walaupun tanpa rambut panjangnya yang dulu dan tanpa dirinya yang dulu. Gadis itu berhenti dan membalikkan tubuhnya yang mungil, seketika nafasku tertahan saat kusadari gadis itu menyunggingkan senyum yang sudah lama tak kulihat.

            Yunika Rachma. Biasa disapa Yuka oleh teman-temannya, dipanggil Rachma di lingkungan rumahnya, dan dipanggil Yunika oleh hampir 100% guru-guru yang pernah mengajarnya. Gadis yang selalu protes dengan cara yang aneh, ketika seseorang salah menuliskan tiap-tiap huruf yang merangkaikan diri menjadi namanya. Gadis yang manis sebenarnya, tapi kemudian berubah dingin di depan orang-orang yang belum dikenalnya.

            Gadis yang mengajariku untuk tersenyum pada siapapun, kapanpun, dan di manapun, bahkan saat merasa sulit, tersenyum untuk orang lain itu wajib. Gadis yang membuatku berhenti dan keluar dari keterpurukanku, keterpurukan karena seorang cewek yang bunuh diri tepat di depan mataku. Cinta pertama yang sudah lama kulupakan.

            Kini Yuka mulai benar-benar jauh dariku, sangat jauh, bahkan sedetik pun aku tak akan bisa menyentuhnya, terlalu jauh.


$$$


            Semua itu di mulai saat memasuki semester baru, aku duduk di kelas tiga dan Yuka di kelas satu. Gadis itu selalu berjalan dengan langkah pendek namun cepat dan selalu memandang lurus ke depan, membuatnya terlihat sombong dan tak memerdulikan keadaan sekitarnya.

            Yuka  turun dari lantai empat, setelah praktek kimia kelasnya selesai. Aku sengaja menunggunya di jembatan yang menghubungkan dua gedung, gedung lab dan gedung kantor-kelas. Sangat berharap Yuka melintas di depanku dan mau melihat barang sedetik ke arahku, sudah seminggu sejak aku mengantarnya pulang sampai di depan pintu rumahnya. Sejak sore itu, aku merasa Yuka menghindar dari tiap sudut mataku. Entahlah…

            Tapi apa yang kulihat? Yuka yang biasanya berjalan tegak dan menatap lurus itu kini menunduk dalam-dalam, menatap hampa tiap potongan keramik putih saat menuruni anak tangga terakhir di lantai tiga gedung lab.

            Aku memerhatikannya dengan seksama. Tubuhnya yang hanya 155cm itu membungkuk, lehernya yang bersih juga menekuk ke depan menciptakan lipatan di dagunya, membuatnya terlihat semakin pendek.

            Aku menatapnya nanar saat tubuh mungil berambut lurus hitam legam sebahu yang di kucir ekor kuda itu melewatiku dengan langkah gontai. Seketika tubuhku terdorong dengan sendirinya untuk berdiri di depannya, mengangkat dagunya kemudian sedikit menunduk untuk menyejajarkan wajahku dengan wajahnya, menatapnya lekat. Keberanian yang tak pernah sekalipun keluar dari diriku.

            Matanya merah, agak bengkak. Dengan keberanian yang tak kubuat-buat tetapi sungguh membuatku menahan nafas, aku melepaskan jari telunjuk dan ibu jariku yang menyangga dagunya, membuat Yuka kembali menunduk lemah.

            “Kamu gak papa, kan?” ucapku lembut setelah mengajaknya duduk di balkon lantai tiga di ujung timur gedung yang sepi. Yuka hanya diam, masih menunduk. “Aku ada salah sama kamu? Kamu kenapa? Bilang sama aku,” ucapku sambil memegang kedua bahunya yang merosot.

            Yuka hanya diam. Membuatku semakin bingung. “Kamu gak pernah kaya gini, kamu harus bilang sama aku,” aku meyakinkannya.

            Gadis itu mendongak, membuatku melihat semuanya. Bekas air mata yang mengalir di pipinya yang halus, dengan lebih banyak buliran air mata lain yang siap jatuh dari pelupuk matanya. Gadis yang menerimaku menjadi pacarnya setengah tahun lalu itu menangis tertahan di depanku.

            “Give me reason for this,” ucapku lagi setelah memeluknya, menenggelamkan kepalanya ke dalam pelukanku, membungkam mulutnya yang siap mengeluarkan jeritan-jeritan yang aku yakin akan praktis membuat tubuhku ikut terguncang hebat.

            Tapi aku salah, Yuka memang bukan seperti gadis lain. Gadis yang kini menangis di pelukanku di jam kosong setelah praktek kimianya dan jam kosong setelah jam pelajaran pagiku, mulai melepaskan diri dari pelukanku.
              “Jantungku, hiks.. hiks..” ucapnya lirih setelah berhasil mengatur nafasnya. “Gak akan bertahan lama,” gadis itu mulai menegakkan tubuhnya.

            Nafasku tertahan. Jantungku bak berhenti berdetak. Mataku membelalak maksimal. Aku terdiam, cukup lama. Tak seperti yang kubayangkan, air mata Yuka sudah tak turun lagi, bahkan kering. Gadis yang membuatku hidup lagi dari keterpurukan setengah tahun lalu itu tersenyum, kali ini sangat penuh arti. Sarat makna dan pengertian.

            Jantungku mulai berdetak lagi saat kutatap kedua bola mata dengan iris coklat gelap di depanku. Aku syok, kelewat syok untuk syok dalam kategori ini. Yuka masih tersenyum, dengan matanya yang merah dan sayu.

            “Maafin aku, ya?” ucapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Harusnya aku bilang dari dulu, tapi karena keegoisanku yang gak ketulungan, ehehe…” Yuka sempat tertawa kecil, tawa palsu yang sangat kentara. “Aku terima kamu jadi pacarku,” Yuka berpaling dan mengerjapkan matanya berkali-kali, berusaha menahan jatuhnya linangan air mata yang siap meluncur kapan saja.

            Aku menghembuskan nafas berat, terasa sangat sesak. “Aku gak ngerti,” ucapku seraya menyentuh dagunya, memaksanya tetap menatap mataku. “Cerita yang jelas, aku paling gak suka kaya gini,” ucapku lemah.

            “Okey,” Yuka menarik nafas panjang dan meniupnya perlahan. “Aku udah sakit sejak…” Yuka mencoba mengingat-ingat, mengetukkan jari telunjuknya yang mungil beberapa kali di dagunya. “Sebelum aku masuk ke sekolah ini, aku udah sering ngerasain nyeri di bagian jantung,” gadis itu diam.

            Aku mendengarkan dengan seksama, berharap ada aura humor di sana, di matanya, mimik wajahnya, atau pada suaranya. Aku tak menemukan sedikitpun dusta di sana. Oh, God! Cewek ini mengatakan yang sebenarnya, batinku sambil menyunggingkan senyum ke arahnya yang masih diam, berharap aku akan bertanya lebih jauh.
            “Persis di hari kamu bilang ‘Aku sayang kamu’ untuk yang pertama kali ke aku, sorenya aku kehilangan kesadaran. Ayah, Ibu, sama Kak Ari bawa aku ke rumah sakit, dan dokter bilang …” Yuka menggantung kalimatnya.

            “Tapi itu satu tahun lalu,” ucapku lirih, memandang sendu ke arah gadis dengan rambut yang dikucir ekor kuda di depanku.

            “Makanya aku tadi bilang keegoisanku yang bikin aku kaya gini,” ucapnya sambil tersenyum, senyum yang sangat dipaksakan. Aku membalas senyum itu, senyum kesedihan, senyum kepayahan, senyum ketakutan.

            “So…” aku menghembuskan nafas berat, seberat mataku yang kini terpejam, mencoba mencerna penggalan kalimat yang diucapkannya. Aku membuka mataku, masih kulihat tubuh mungil itu memandangiku dengan tatapan sendu. Tubuh mungil yang masih berbalut jas lab dengan bed merah bergambar cangkir dan seekor reptile di saku kirinya itu menarikku ke dalam pelukannya. Percaya atau tidak, sekarang aku yang menangis di pelukannya. Gadis yang kucintai, ya, gadis kecil yang amat kucintai. “Sekarang, apa yang bisa aku lakuin? Hiks…” aku tersedu.

            “Dasar cowok cengeng,” Yuka mengelus puncak kepalaku, entah kenapa saat ini aku merasa seperti anak kecil. “Kalau besok aku gak ada di sini lagi…”Yuka melepaskan peluknya dan menyejajarkan mataku dengan matanya yang coklat. “Kamu gak perlu janji kok,” Yuka tersenyum, “Kamu harus lanjutin hidup kamu, bukan demi aku, tapi demi kamu sendiri. Aku tau kamu dulu jauh lebih terpuruk dari sekarang, tapi jangan kayak dulu lagi,” pintanya sekali lagi.

            “Gimana bisa kamu bilang kaya gitu?” aku menyeka bekas air mata di pipiku. “Do you fell happier after saying such thing? This make me ill, what an elegy. This is so drama, you know?” aku tersenyum kecut, membuang muka.

            “We can do nothing,” ucapnya kemudian berdiri dan berjalan menjauh. Aku tak bergerak, tapi otakku terus berfikir, bahkan lebih keras untuk mengingat semua hal yang dikatakannya barusan. Aku mulai frustrasi, aku meringkuk di pojokan balkon sepi itu, menjambaki rambut spikeku dan membuatnya semakin berantakan.
              “Oh God! Kenapa mereka semua harus selalu pergi di saat aku sudah mulai keluar dari keterpurukan ini?!” aku menjerit tertahan. “Aku gak mau kehilangan orang yang kucintai lagi! Aku gak mau!” seketika aku berdiri dan berlari, mencoba mencari sosok mungil itu, tapi nihil.

            Kumasuki tiap ruang kelas dan lab, bahkan ruang guru dan gudang yang pengap. Aku memutuskan untuk pergi ke kantin, tak ada. Brrrttt… ponselku bergetar, tanda ada panggilan. Tanpa berpikir panjang, aku mengangkat panggilan itu. Tak ada sahutan, aku tetap diam.

            “ Aku pulang sekarang, maafin aku ya? Tapi sekarang mungkin kamu gak akan nemuin aku di tiap sudut sekolah lagi kaya dulu,” suara lembut itu menciptakan selapis air bening di mataku. “We shouldn’t see each other anymore.

            Tut…tut...tuuut...!!

            “Aku tau,” desahku setelah menyadari seisi kantin yang menatapku bengong. “Maaf semuanya!” ucapku kemudian pergi dari kantin dan segera membuat izin untuk pulang lewat guru piket di ruang guru dengan alasan kurang enak badan, kemudian aku pulang. Tanpa pernah sedetikpun tak memikirkannya, Yuka.


$$$


            “Aku gak akan sembuh, percaya sama aku,” ucapnya lagi setelah aku mencekal lengannya yang sekarang terasa tak berisi dan menyentakkannya ke pelukanku.

            “Kamu gak kangen sama aku?” ucapku masih memeluknya erat, tak ingin dunia mengambilnya dariku. Berbulan-bulan aku tak bertemu dengannya.

            “Enggak juga,” Yuka menjauh dariku dan tersenyum. “Aku kangen sama gedung sekolah ini,” ucapnya pelan.

            “Kamu kurusan sekarang,” ucapku setelah memandangnya lekat-lekat. “Kenapa kamu potong rambut?” ucapku sambil mengacak rambutnya yang pendek dan hampir menyamai pendeknya rambutku.

            “Kamu ngebosenin yah sekarang? Sebentar lagi pengumuman kelulusan ‘kan? Good luck yah?” dengan canggung, gadis dengan kulit pucat itu mengulurkan tangannya. Aku mengaitkan kelima jariku.
              “Aku pasti lulus kok, tenang aja,” ucapku sombong. Yuka hanya tersenyum.

            “Kira-kira, tahun depan aku bisa lulus gak ya?” ucapnya mencoba ceria, tapi gagal total. Aku melihat benda cair bening mengalir keluar dari matanya. Yuka menghapus cairan itu dengan punggung tangannya. Aku menatapnya sendu.
              “Aku harus pulang,” ucapnya kemudian berjalan pelan menuju lantai dasar. Refleks aku mengangkat tangan kiriku, melihat jam digital biru tua yang kukenakan menunjukkan pukul lima sore.

            Cewek itu berhenti, tak bergerak, hampir seperti tersentak. Tubuhnya mulai membungkuk, tangan kanannya yang bebas mengarah memegangi bagian jantungnya. Seketika aku terpaku. Yuka terduduk, aku segera membopongnya menuju mobil hitamku di halaman parkir sekolah dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

            Setelah sampai di rumah sakit, aku langsung menghubungi keluarganya. 15 menit kemudian mereka datang. Tak ada yang bersua. Mereka hanya memandangku dengan tatapan sedih. Sang ibu tersedu di pelukan sang suami dan Kakak Ari menghampiriku.

            “Dia udah telepon kami sebelum kamu telepon, dia sangat berterima kasih sama kamu, kamu cinta pertama dan terakhir buat dia. Makasih, Rey. Kamu udah menyayangi Rachma di rumah dan Yuka di sekolah dengan sangat,” ucap Kak Ari yang sontak membuatku syok.

            Aku segera memasuki ruangan yang 20 menit lalu dimasuki Yuka. Tubuh itu masih di sana. Tertidur dengan senyum di wajahnya yang pucat, aku mengecup keningnya lembut dan meneteskan sebulir air mata di keningnya. Aku nyerah, Yunika Rachma. Seorang Krisna Yudha terpuruk lagi karena kamu.
            Aku keluar dari ruangan putih itu, menunduk dalam-dalam sambil berpamitan pada kedua orang tua Yuka dan seorang Kakak Ari yang menepuk pundakku pelan sebelum aku melangkah pergi meninggalkan keluarga yang kehilangan anggotanya itu.

            Aku keluar dari pintu rumah sakit dengan linglung, dunia nyataku masih belum kembali. Tanpa aba-aba, aku menyeberangi jalan yang terlihat agak lenggang dan berhenti tepat di tengah zebra-cross yang terlukis di sana. Aku melihat cahaya dari kejauhan, masih belum sadar, cahaya itu begitu menyilaukan. Aku menyipitkan mata mencoba melihat lebih jelas benda apa yang memancarkan sinar begitu silaunya di tengah jalan yang mulai gelap ini. Cahaya itu makin mendekat dan….

            Tiiiiiiiiiinnnnnnn……….!!! Ciiitt…!! BRUAK!! Sssttttsssttt….

            Aku terhempas, seketika aku sadar bahwa tubuhku sudah tak berfungsi semestinya. Tak ada yang bisa kugerakkan, mataku perlahan menutup karena berat menahan sakit yang kubawa sejak keluar dari rumah sakit. Aku kehilangan semuanya. Semuanya.


$$$


            You know what? Ini akhir kisahku, aku akan pergi selamanya. Setelah melihatku bersimbah darah seperti itu, dan aku bisa melihat tubuhku sendiri, aku yakin aku akan pergi. Dan Yuka, aku menyusulmu.


THE END


Unborn 8.0 Aqua Pointer
Kejut.com
Facebook Twitter RSS