Aku Sudah Pergi

"Gue gak bisa lebih lama lagi, gue harus pergi sekarang," punggungnya mulai samar terlihat di tengah hujan deras yang tak berhenti barang sedetik.

"Gue tau lo akan pergi dari gue," desahku setelah tak dapat lagi melihat tubuhnya yang ~aku yakin~ sekarang basah kuyup tertimpa hujan. "Gue akan berhenti mainin lo, gue gak mau lo sakit lagi," aku menunduk lemah.

Hujan tetap tak berhenti menemani tubuhku yang kedinginan. Aku berdiri memandang hujan yang membuat kabut yang semakin menebal, membuatku semakin sesak.

Seketika mataku membulat maksimal, bisa kurasakan punggungku yang basah dan dingin tertiup hembusan angin, kini semakin hangat. Lengannya yang basah kini melingkar di tubuhku, tangan kirinya melingkar di leherku, bisa kurasakan hembusan nafasnya yang hangat di leher kananku, di bawah telingaku. Dia kembali.

"Gue gak akan ninggalin lo gitu aja. Lo kira gue cowok apaan? Gue gak akan balas rasa sakit yang lo kasih ke gue dengan sakit yang sama atau bahkan lebih," nafasnya memburu, tubuhnya yang kini di belakangku tanpa terpaut jarak berguncang hebat. "Gue gak mau lo pergi dari gue," suaranya bergetar.

Aku tersenyum, sedikit kecewa karena cowok yang kini memelukku tidak meninggalkanku saja di tempat ini, sendiri. "Gue tau lo bakalan balik ke sini, tapi gue mau lo pergi dari gue." Aku mencoba beranjak dari pelukannya yang membuatku hangat, tapi seketika tubuhku menegang.

Cowok berambut spike itu, dengan tubuh menggigil kedinginan, dan bibir yang bergetar, memutar tubuhku hingga kini menatapnya. Menatap matanya yang sendu.

Bahuku menghangat, saat kusadari cowok ini memelukku lagi, kali ini lebih erat. "Gue pergi," bisikku di telinga kirinya.

Tubuhnya berguncang hebat, bisa kudengar dia menangis sesenggukan di balik bahuku. "Lo gak bisa ninggalin gue! Gak boleh! Huu.." tangisnya pecah.

"Gue harus, bahkan lo tau," kutarik kerah kemejanya yang basah ke bawah, mencoba membuatnya tercekik dan menjauh, tapi sia-sia. "Bahkan lo tau, gue gak akan balik lagi. Gue kurang apa coba?"

"Lo kurang egois!" dilepasnya pelukan itu, lalu menatap mataku dengan matanya yang memerah. "Lo gampang putus asa! Lo bisa kalahin penyakit ini!" dia membentak dan mengguncang tubuhku yang kurasa mulai kehilangan keseimbangannya.

Kedua tangan dinginku yang sekarang bebas, tanpa instruksi apapun, menyentuh keningnya, menekan kelopak matanya, menarik hidungnya yang bangir dan menyapu bibirnya.

Mataku tak beranjak dari sana, matanya yang merah nun sendu. Perlahan tapi pasti, bibirku menekan bibirnya yang dingin, lama, tanpa tambahan gerakan apapun di sana, kami diam, aku terpejam.

Sedetik kemudian, mataku terbelalak, bisa kurasakan nafasnya memburu di atas bibirku yang kini menghangat.

Cowok itu membasahi bibirku dengan lidahnya yang mencoba membuka mulutku, aku menolak. "Enggak," ucapku setelah kembali dapat menatap matanya.

"Lo kenapa?" air wajahnya berubah, panik.

Aku mencoba tetap berdiri dan mempertahankan kesadaranku, tapi aku tak bisa. "Gue pergi sekarang, maafin gue," ucapku lemah setelah sebelumnya merosot ke tanah yang dingin dan basah, cowok itu menyanggaku dengan paha dan tangan kirinya di tengkukku.

"Lo jahat!" bisa kulihat dan kurasakan air matanya hangat, menetes di pipi kananku. Aku tersenyum lemah.

Dengan kekuatan seadanya, aku memaksanya mendekatkan wajahnya ke wajahku yang lebih rendah. "Gue mau nyium lo," aku tersenyum lagi dan cowok itu menekan bibirku dengan bibirnya. Lidahku kelu, tak dapat bergerak, nafasku tercekat. Mataku terpejam. Kini aku tak bisa menahan lidahnya yang sudah masuk ke dalam mulutku dan mencoba mengajak lidahku yang kelu untuk meresponnya. Ingin sekali aku melakukan hal serupa, tapi waktuku telah tiba, kubiarkan cowok itu melumat bibirku yang membiru tanpa hembusan nafas di atasnya. Tubuhku membeku, aku sudah pergi.


Unborn 8.0 Aqua Pointer
Kejut.com
Facebook Twitter RSS