Siang yang terik. Membuatku sedikit linglung sejak di sekolah. Aku kehilangan setengah kesadaranku, aku putuskan untuk tetap pulang dengan menaiki sepeda biruku.
"Lo ga papa kan Ra??" tanya Chichi sambil memegangi kedua lenganku, takut aku terjatuh.
"Gue ga papa Chi," ucapku sambil melepaskan cengkraman tangan Chichi yang memang sukses menegakkan tubuhku yang lemas. Aku mengeluarkan minyak yang berasal dari kayu putih dan menghirupnya.
"Gue suruh Ka Rama anterin lo pulang aja ya, Ra? Gue takut lo kenapa-napa di jalan."
"Gue gapapa, Chi, tenang ya?" ucapku menenangkan teman sebangkuku itu.
"Beneran nih?" tanyanya lagi.
"I swear, Chi. Tapi kok pake Ka Rama sih? Dia itu kakak lo, lo belum amnesia kan?"
"Eheh, yaaaa, lo kan tahu Ra, Ka Rama naksir sama lo.. Eheheh" Chichi nyengir. “Yaudah deh, gue percaya sama lo, ati-ati ya? Kalo ada apa-apa, telfon gue,” ucap Chichi padaku yang mulai menaiki sepeda.
“Iya Chichi sayang…” kataku sambil mengayuh sepedaku menjauhi gerbang belakang sekolah.
“Ati-ati ya Ra!!” teriakan Chichi masih terdengar di telingaku.
##
Aku sampai di jembatan di tengah persawahan yang cukup luas, aku berhenti. “Oryza sativa,” ucapku pelan sambil menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Hanya suara angin yang terdengar di telingaku, tak ada yang lain, aku menghela nafasku untuk kesekian kalinya. “Aku capek,” gumamku pelan. “Ayah, aku mau pulang,” gumamku lagi dan semua menjadi gelap setelah sebelumnya aku merasa tubuhku terhempas.
##
Aku merasa sedang pulang sekolah dengan sepeda berpalang depan *sepeda laki-laki itu loohh, heheh* Siang yang lumayan terik, aku dengan topi dan seragam sekolah, aku bahkan tidak mengingat warna seragam yang sedang kukenakan, melintasi jalanan yang belum pernah kulewati sebelumnya. Aku seperti berputar-putar terus di jalan yang ramai dan berdebu itu. Berkali-kali aku terbatuk, sesak dan mataku perih.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengulangi sekali lagi rute yang sejak tadi kulewati itu dan aku menemukan sebuah jalan yang menuntunku ke suatu tempat.
Tempat itu gelap, tidak seperti perjalananku saat pulang sekolah tadi ~terik. Penasaran, aku memasuki pekarangan gelap itu.
Gerbang masuk dan pagarnya terbuat dari bambu, aku mengedarkan pandanganku ke arah kananku. Aku tak melihat apapun. Aku mengedarkan pandanganku lagi, kali ini ke sebelah kiriku, aku melihat tenda. Saat menatap lurus ke depan, aku melihat tumpukan bambu yang membentuk rumah, dari sana kulihat anak-anak dengan kemeja coklat muda dan bawahan coklat pekat yang terlihat hitam karena gelapnya kondisi saat itu, keluar dengan wajah gembira.
Entah kenapa aku merasa sudah sangat mengenal tempat itu. Seseorang menghadangku. Seorang anak laki-laki kira-kira seumuran denganku, menatapku sambil menunduk dan berkata, "Kamu mau apa ke sini?" sambil mengerutkan keningnya.
Aku yang kaget karena tahu-tahu ada makhluk ~yang ternyata~ bernyawa itu seketika mundur selangkah dan berkata, "Aku gak tahu juga kenapa aku ke sini," sambil mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru pekarangan yang gelap itu.
"Kalo gitu, ayo ikut aku," ucapnya seraya berjalan membelakangiku yang masih bengong. "Ayo, kita perlu ketemu seseorang," ucapnya lagi menyadari kebengonganku. Aku mengikutinya dengan masih menuntun sepedaku.
“Kamu siapa?” tanyaku pada makhluk dengan kaos hitam dengan jeans lebar selutut yang berjalan memunggungiku.
“Darma,” jawabnya singkat.
“Aku Aira,” ucapku tanpa sadar. Darma menengok dan tersenyum. “Aku tahu.”
“Hah? Apa?”
“Enggak.”
"Kak, ada yang datang," ucap Darma ketika kami sudah memasuki ruangan yang lumayan sempit untuk menampung hampir 50an orang di sana. Tidak seperti kejadian-kejadian biasanya, orang-orang di sana tidak menoleh sedikitpun, kecuali makhluk yang dipanggil 'Kakak' dan orang orang yang sepertinya juga biasa dipanggil 'Kakak' karena segerombolan makhluk yang aku tak tahu asal-usulnya itu langsung menoleh ke arah cowok yang kuikuti tadi.
"Apa?" katanya sambil tersenyum. Kayaknya aku pernah lihat, tapi di mana ya? batinku.
"Ini Kak, anak nyasar," jawabnya sambil menunjukku dengan dagunya. Aku nyasar? Emang iya toh? tanyaku dalam hati.
"Oh," Kakak itu hanya ber-Oh dan menatapku datar seakan berkata 'Aku gak akan tanya apa-apa kok, dan kamu tenang aja' kemudian kembali menatap Dimas lagi, "Ajak dia." Mau dibawa ke mana aku? tanyaku dalam hati. Dimas hanya mengangguk.
“Darma,” panggilku.
“Apa?”
“Itu tadi siapa?” tanyaku polos.
“Kak Canggih,” jawabnya singkat.
“Oh..” aku mengangguk. “Terus sekarang kita mau ketemu siapa?”
“Kak Anas,” ucapnya. Aku tidak berani bertanya lagi setelah menyadari jawaban yang kudapatkan hanya satu-dua kata saja, mungkin dia bukan tipe orang yang suka bicara, batinku.
Sampailah kami di sebuah ruangan, seperti ruang latihan. "Kamu boleh ikut kegiatan ini tapi kamu harus hadapi dulu kakak itu," Darma menunjuk sesosok makhluk bernyawa lain yang langsung datang menghampiriku dan berdiri persis di depanku.
"Kamu ikut aku," terdengar nada otoritas dari penekanan kata yang diucapkan Kakak itu.
“Ini Kak Anas?” tanyaku pada Darma, dia mengangguk.
Akupun tanpa sadar langsung mengikutinya ke sisi lain ruangan itu ke sebuah ruangan yang lebih kecil di samping kanan ruangan itu.
"Kamu lawan aku," ucapnya setelah kami berdua masuk dan berposisi di tengah ruangan yang sempit dan ~menurutku~ pengap itu.
"Aku?" tanyaku mengonfirmasi kebenaran pertanyaannya yang jelas-jelas ditujukan padaku.
"Iya," jawabnya singkat.
"Gak salah?" tanyaku balik setelah menyadari adanya ruang kosong di matanya.
"Enggak," jawabnya lagi. "Kamu takut?" tanyanya lagi.
"Enggak juga," ucapku santai sambil membenarkan posisi topi yang sedang kupakai.
"Oke," dan masuklah sesosok makhluk yang berjenis kelamin berbeda dengan Kak Anas. 'Karena kamu cewek, nih aku kasi lawan cewek' kesan itulah yang kudapatkan dari tatapan meremehkannya padaku.
Kak Anas meninggalkan kami berdua. Kami saling tatap, cewek yang agaknya beberapa tahun lebih tua dari aku itupun menatapku dengan garang dan remeh. Aku hanya tersenyum santai,bisa kulihat tatapannya semakin garang padaku.
Apa yang terjadi!?
Nothing.
Dia memulai serangannya *bayangin sendiri yaa??* Enggak, di hanya tersenyum mengejek dan berkata sambil mengelilingi tubuhku yang sedikit lebih pendek darinya, "Aku cewek terkuat di sini."
"So?" tantangku tersenyum, masih dengan tampang dan sikap santaiku.
"Kamu.." gumamnya santai, kali ini benar-benar berubah 360derajat.
"Apa?" tanyaku, mulai malas dengan situasi ini.
"Kamu bakalan kapok pernah masuk sini."
Kreeekk!!! terdengar bunyi pintu terbuka. Orang lain masuk, “Darma?” desahku. Cewek itu tersentak kaget.
"Ngapain kamu masuk ke sini? Kamu ga tahu peraturannya ya?" tanya cewek itu dari seberang pintu.
"Kamu keluar, sekarang," ucap Darma lembut sambil memalingkan wajahnya padaku.
"Eh... kamu ga bisa seenaknya dong.." cewek itu menggerutu.
"Kamu lawan aku," ucap Darma singkat. Aku langsung melengos keluar ruangan itu dan berdiri di balik pintu sambil mengawasi apa yang akan terjadi nanti. Tempat apaan sih nih!? gerutuku dalam hati sambil mengintip takut-takut ke dalam ruangan yang baru 25 detik lalu ku tinggalkan.
Terjadi sesuatu *kuch kuch hota hai dong?? :p* aku hanya melihat kaki cewek itu mengunci leher Darma yang sedang berdiri tegak tanpa merasa terbebani. Orang-orang di belakangkupun ikut bergumam tak jelas, hampir seperti dengungan lebah. Apaan tuh!? batinku heran, "Kapan selesainya??" gumamku kemudian.
Saat aku mengintip lagi, situasi sudah tidak seperti terakhir aku mengintip tadi. Aku bingung.
"Hey anak nyasar!" suara itu membuyarkan kebengonganku.
"Aku?" tanyaku polos.
"Iyalaaah, siapa lagi!?" ucapnya lagi sambil berbalik pergi. Apa lagi nih!? gerutuku dalam hati.
"Kalo kamu mau ikut kegiatan di sini, kamu dateng lagi besok," ucap Kak Canggih.
"I-i-iya deh, kak," ucapku agak tergagap.
Terdengar suara cewek lawanku tadi, "Kamu hebat," katanya.
"Aku ehh??" tanyaku bingung.
"Selamat yaa?? Kamu diterima," ucapnya menambah kebingunganku.
Hampir semua orang di sana menyalamiku. Tapi tidak untuk Darma, dia menghilang.
Aku pulang dengan setengah kesadaran. "Tempat apa itu tadi??"
Aku tak merasa sampai dirumah, tahu-tahu saja aku sudah pulang lagi dari sekolah seperti kemarin. Bedanya, aku seperti punya banyak teman bersepeda hari ini, jalanan jadi lebih bersih dan lebar, lebih mudah meliuk-liukkan stang sepeda sampai aku merasa bisa menyaingi kepotan para downhillers. Aku sangat menikmati pejalanan itu, terasa sangat bebas, lepas, kutinggalkan semua beban dihatiku, melayang kumelayang jauh, melayang dan melayang *loh ko nyanyi?? 0_o Aku tak meras aada yang aneh, sedikitpun tidak.
Sampai di pekarangan gelap itu lagi, kali ini masih dengan keadaan yang sama, tidak ada yang menyadari kedatanganku. Aku langsung menuju ruangan yang pertama kumasuki kemarin, dan benar saja, hampir seluruh anggota ada di sana, sedang makan siang.
"Hey, kamu dateng toh ternyata," ucap Kak Canggih padaku dan merangkulkan lengan kanannya sampai menyentuh tengkukku. Aku merinding dan menepis dengan memindahkan lengannya yang besar dari tengkukku. "Upss!! maaf adek kecil, kebiasaan sih.." katanya sambil nyengir keledai sobat Sherk.
"Eheh, gapapa," ucapku. Aku ada di mana sih? Apa aku lagi mimpi ya? Iya deh.. kayaknya aku memang mimpi, tapi kenapa aku ngerasa kenal banget tempat ini? Mimpi inipun ga termasuk mimpi indah kalo memang ini mimpi, tapi kenapa aku belum pengen bangun ya? Ada apa?.. batinku berkecamuk.
"Ayo muter-muter dan ikut latihan," ajaknya dan langsung kujawab dengan anggukan.
Kami berjalan dari ujung ke ujung. Aku tetap tidak bisa menemukan latihan yang pas untukku. "Kamu di sini aja," ucapnya saat kami sampai di ruang makan.
"Eheh, kayaknya cuma ini ya yang pas buat aku?" tanyaku sedikit malu.
"Mungkin, tapi kamu boleh kok ganti jurusan, hahahaha..." Kak Canggih tertawa.
"Bisa ya??"
"Bisa dong, tapi ini dulu..." katanya sambil menunjuk pipi kanannya yang coklat karena cahaya yang tak terang.
"Ahahahaha...." aku tertawa lepas ~tepatnya kelepasan. "Maaf, Kak," kataku menyadari suaraku yang terlalu keras.
“Maaf deh, bercanda… aku udah punya cewek kok, tenang aja..”
“Eheh, siapa tuh??” tanyaku sedikit genit sambil mencolek lengan coklatnya.
“Calon lawan kamu waktu itu, namanya Rosie,” jawabnya.
“Oke, kalo gitu aku ke dapur aja deh yaa daripada ga ada kerjaan gini.” Waktu itu? Padahal kan baru kemarin, batinku.
“Bener juga, nginep sini aja yah?? Keluarga kamu udah pada tau kok, okey??”
Keluarga? Jadi Ayah sama Kak Ima tau? Tapi dari mana? Apa ini memang cuma mimpi? Pertanyaan itu kembali mengunjungi pikiranku, tapi kenapa aku ga bangun-bangun ya? Ayah.. Kakak.. Chichi… kalian bangunin aku doong…!! Jeritku dalam hati.
“Eheh, kok Kakak bisa…” kalimatku terpotong.
“Bisa tahu?” Aku mengangguk. “Mereka bertiga di sampingmu sekarang,” ucapnya kemudian, lesu.
Aku langsung tengok kanan-kiri dan berputar seperti kucing yang mencari ekor pendeknya. “Aku ga liat apa-apa,” ucapku. “Apa ini mimpi?” tanyaku kemudian.
“Hampir,” jawab Kak Canggih menambah kebingunganku.
“Berarti…” aku berfikir, “Ini keadaan di antara sadar dan ga sadar, gitu?” tanyaku polos.
“Kamu tanya aja sama Anas, aku ketemu Rosie dulu ya?” ucapnya sambil menutup pintu coklat tua itu.
“Mereka bertiga? Siapa? Aku di mana sih nih!?” gerutuku sambil menjambak rambut. “Aku harus keluar dari tempat ini,” tekadku kemudian bangkit berdiri.
Aku keluar dari ruang makan yang sedari tadi kosong itu. Aku berjalan ke sebuah ruangan yang kupikir adalah ruangan milik Kak Anas karena jelas terpampang di sana huruf yang merangkaikan diri menjadi kata ‘ANAS’ yang besar yang kupikir aku harus masuk ruangan itu dan meminta penjelasan tentang keberadaanku.
Aku harus melewati beberapa ruangan sebelum sampai di sana, aku setengah berlari untuk mencapai ruangan itu. Aku membaca setiap papan yang tertempel bagus di tiap pintu ruangan, “Nissa.. Kattie.. Rona.. Rossie..”
Aku berucap sambil menjulurkan kepalaku ke arah jendela yang lumayan tinggi, Kali-kali aja Kak Anas ga lagi di ruangannya sendiri, pikirku. Dan benar saja, aku melihatnya di ruangan Darma, berdiri memunggungi pintu masuk dan sedang berbicara pada seseorang, aku tak yakin siapa orang itu karena aku hanya mampu melihat siluet tubuhnya yang masih kalah tinggi dengan Kak Anas. Aku mengira itu Darma sendiri.
“Permis….” Belum sempat aku berucap, tak sengaja aku mendengar suara Kak Anas yang tiba-tiba meninggi. Seketika aku meringkuk di bawah jendela ruangan dengan nuansa biru kelam itu. Dan aku mendengarnya.
“Darma!!” Kak Anas berteriak. Apa cuma aku yang bisa denger? Kenapa ga ada yang buru-buru dateng buat liat apa yang sebenernya terjadi? Apa memang ga ada yang peduli atau apa sih!? Tempat ini aneh! Sama kaya orang-orangnya, batinku.
“Kak, aku mohon, please..” hening sesaat. “Aku…”
"Darma, kamu siapa sih??" gumamku.
“Permis….” Belum sempat aku berucap, tak sengaja aku mendengar suara Kak Anas yang tiba-tiba meninggi. Seketika aku meringkuk di bawah jendela ruangan dengan nuansa biru kelam itu. Dan aku mendengarnya.
“Darma!!” Kak Anas berteriak. Apa cuma aku yang bisa denger? Kenapa ga ada yang buru-buru dateng buat liat apa yang sebenernya terjadi? Apa memang ga ada yang peduli atau apa sih!? Tempat ini aneh! Sama kaya orang-orangnya, batinku.
“Kak, aku mohon, please..” hening sesaat. “Aku…”
"Darma, kamu siapa sih?"
“Darma..” ucap Kak Anas, kali ini lebih pelan, suaranya mendamaikan. “Kakak tau kamu sebenernya ga mau di sini, tapi ini kehidupan kita.”
Seketika aku tersentak. Kehidupan? Jadi ini bukan mimpi? Tempat apa ini? Air mataku berjatuha, aku menghapusnya cepat sebelum ada yang melihat, aku mendengarkan lagi, kali ini sengaja.
“Darma tau, Kak,” ucap Darma lemah.
“Kita harus jaga tempat ini, kamu tau ‘kan?”
“Iya.”
“Tenangin diri kamu dulu, aku akan panggil Aira dan coba jelasin semuanya.” Mendengar namaku disebut, seketika aku berdiri dan menjauh dari ruangan bernuansa biru kelam dengan papan nama yang juga biru kelam, tertempel bagus juga di sana lima huruf yang merangkai nama sang pemilik ruangan, ‘DARMA’
Setelah mendengar sepotong pembicaraan itu, aku bergegas menuju ruang makan, takut jika Kak Anas mencariku, aku tak ada di tempatku seharusnya berada. Aku meringkuk di pojok ruangan dengan bau makanan yang lezat melekat di tubuhku. Ibu Martha, sang koki di ‘pekarangan’ gelap itu mengguncang tubuhku hingga aku terduduk dari posisiku yang jongkok.
“Kamu ga akan tidur di sini, Ibu tau kamu capek, Ra. Kita semua yang di sini capek,” ucap Ibu Martha.
Gak tidur? Barusan aku tidur, kan? Batinku. “Tempat apa ini, Bu?” tanyaku pelan, berbisik, takut ada yang mendengar.
Bu Martha sempat terkejut mendengar pertanyaanku, tapi sedetik kemudian beliau tersenyum. “Kamu cari Anas sana, tadi dia nyariin kamu, dia ada di ruangannya sekarang.”
“Kak Anas nyariin aku?” tanyaku langsung berdiri. Apa Kak Anas mau ngejelasin semuanya ke aku? tanyaku dalam hati seraya tersenyum dan pergi meninggalkan Bu Martha menuju ruangan Kak Anas yang bernuansa ungu pekat.
##
Aku berjalan pelan menuju ruang Kak Anas, aku berharap bisa cepet bangun kalo ini emang mimpi. Sesosok makhluk melintas di depanku, Kak Rama? Ah, gak mungkin! Batinku seraya menggelang kuat-kuat menepis pikiranku.
Dan sampailah aku di depan pintu ungu itu. Pintu yang membuatku sedih, kenapa ga ada yang jujur sama aku? kenapa semua ujung-ujungnya ke Kak Anas? Siapa Kak Anas?
“Aira, masuk,” terdengar suara lembut Kak Anas dari dalam ruangannya.
“Permisi, Kak,” ucapku sambil membuka pintu dan menjulurkan kepalaku.
“Aira, kamu kemana aja? Kami semua nyariin kamu dari tadi, kamu di ruang makan kan?” Kak Anas tersenyum.
“Aku ketiduran di ruang makan,” ucapku lalu menatap ekspresi Kak Anas yang menggambarkan ketidak percayaan.
“Kamu tidur?” alis kanannya naik, “Dimana?”
“Di pojokan ruang makan, yang kehimpit meja itu tuh..”
“Oh,” ucapnya sambil mengangguk dan berjalan menuju pintu tempat aku masuk tadi. “Tunggu sebentar ya, Aira? Aku keluar sebentar dan inget, jangan keluar dari ruangan ini,” dan aku mengangguk.
##
Setengah jam berlalu dan aku hanya duduk tak bersuara sama sekali, masih di kamar ungu pekat itu. Aku mulai bosan, kuangkat kedua tanganku ke atas dan meregangkan otot-ototku yang mulai kesemutan, aku menguap. Kuedarkan pandangan mataku ke seluruh penjuru kamar cowok yang kira-kira seumuran Kak Ima itu. Semua ungu, pekat, penuh misteri. Aku memutuskan untuk berbaring di ranjangnya yang ungu, aku tertidur.
##
“Aira, bangun nak, Ayah..” terdengar gema suara Ayah, “Sudah seminggu kamu ndak bangun, Aira, kamu kemana aja?” suara berat itu terdengar lagi.
“Udah, Yah, jangan sedih terus ya? lebih baik Ayah makan dulu, nih udah Ima beliin makanan. Aira…” hening sesaat, suara lembut itu terdengar lagi, “Aira ga suka ‘kan kalo Ayah telat makan?” suara lembut itu berubah menjadi isakan kecil.
##
“Aaaiiirraaaa….” Kak Anas membangunkanku, tidak, dia mengagetkanku, aku terduduk kaku di ranjangnya.
“Maafin Aira, Kak,” aku menunduk.
“Gak papa kok, Ra, kamu liat apa barusan?” tatapan lembut itu mendamaikan, seketika mencairkan seluruh ketakutanku. Sebenernya, Kak Anas ini siapa sih?? Kok bisa bikin pengaruh yang kuat gini ke semua orang?? Seakan semua kondisi yang dia mau bakal kejadian juga. “Aira, kamu ke ruangan Darma, ya?” aku menoleh, Kak Anas duduk di samping kananku.
“Darma itu..” aku ragu, “emmhh… Darma itu adik Kakak ya?” tanyaku kemudian, Kak Anas tersenyum.
“Di tempat ini, kita semua sodara,” jawabnya singkat.
“Tempat ini?” gumamku, bertanya pada diri sendiri.
“Ya, tempat ini,” seketika air muka Kak Anas berubah. Tercipta kabut putih di sekitar tengkuknya, dia berdiri. “Kamu ke ruangan Darma sekarang,” air mukanya kembali tenang, kabut putih itu mulai memudar.
“Darma,” gumamku yang disambut senyum tipis Kak Anas. Aku berdiri dan membalas senyum tanpa syarat itu. Aku membuka pintu dan pergi dari ruangan serba ungu itu.
##
“Permis…” lagi-lagi belum sampai kata itu terucap di pintu dengan papan biru kelam di depanku. Aku membuka pintu itu perlahan, karena sejak kedatanganku di hari itu, aku tak pernah bertemu Darma lagi.
“Aira?”
“Iya, ada apa?”
“Harusnya aku yang ngomong gitu ‘kan?”
“Eheh, iya,” ucapku sambil menyibakkan rambut pendekku ke belakang dan mengelusnya lembut. Oh, rambutku, kamu kemana aja? tanyaku dalam hati. Kulihat Darma tersenyum, sedikit pahit kurasa.
“Kamu… Ehh, enggak, maksud aku..” Darma menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
“Apa?”
“Kak Anas kira, kalo kita seumuran, kita bisa gampang cerita, padahal sama sekali enggak buat aku,” Darma terlihat sedih dan sendiri, tepatnya terpuruk. Kucoba mendekatinya, memberikan semangat dengan menyentuh pundaknya, tapi tanpa terasa, dia sudah berada di belakangku. Ku lihat kesedihan itu, begitu dalam.
“Kamu kenapa?” aku merasakan kesedihan itu, mengingatkanku pada sosok Chichi. Chi, aku kangen…
#Flashback mode : ON#
“Cewek cantik kok nangis?” tanyaku pada seorang gadis yang menangis sesenggukan di bawah pohon beringin hias di halaman belakang sekolah.
“Siapa lo?” mata merah itu menatapku masih dengan kesedihannya.
“Gue Aira, lo?” aku bertanya balik, kami biasa melakukannya. Melakukan perkenalan dulu sebelum bertanya yang aneh-aneh, kalau seorang di antara kami tidak mau berkenalan, itu berarti dia sedang tidak ingin bercerita. Kami sudah melakukannya selama tiga tahun, dimulai saat pertama kali Chika ~Chichi, panggilan kesayanganku padanya~ menangis di depan sekolah karena putus dengan pacarnya.
“Gue… Chika, hiks.. hiks..” dia menutupi wajahnya dengan lengannya yang kecil. Cewek ini seumuran sama aku, tapi kenapa dia terasa dewasa walaupun tubuhnya mungil begini?
“Tenang, Chichi…” aku merangkulnya, dia menangis sesenggukan, semakin menjadi. Aku membiarkan air mata itu membasahi kaos olahraga yang kukenakan hari itu. Dia cewek baik, aku tahu, batinku.
Setelah puas menangis, dia mulai bercerita, tanpa kuminta. Begitu detail, sampai kurasa, ada hal-hal yang seharusnya dia simpan untuk dirinya sendiri. Chichi, baru saja patah hati, ternyata, Apa kaya gini kalo patah hati? tanyaku dalam hati seraya tersenyum sendiri, sebenarnya tidak meratapi, hanya kurang beruntung saja, tidak ada satu cowokpun yang mendekat. Aku menunduk dan tertawa kecil.
“Lo kesambet atau apa sih, gue sedih nih…” Chichi memutar bola matanya, aku tersenyum.
“Gue? Lo tuh yang kesambet, lo kebanyakan cowok sih..” aku berdiri dan meninggalkannya.
“Woy! Tungguin gue, Ra,” Chichi menyusul dan berusaha menyamai langkahku. “Jalan pelan-pelan aja kenapa?” gerutunya setelah berhasil menyamai langkahku.
“Gue ga mau buang buang waktu.”
“Maksud lo?” Chichi berhenti mengira aku akan berbalik untuk meladeninya, tapi aku tetap berjalan dan akhirnya Chichi menyerah dan memilih untuk masuk ke kelasnya, kelas tetangga. “Kapribadian ganda!” serunya sebelum masuk kelas, aku menengok dan melihat senyumnya merekah, sangat berbeda dengan Chichi yang kulihat di taman belakang 30 menit yang lalu.
“Gue bahkan lebih sedih, bahkan terpuruk waktu itu, Chi, coba lo tau, ya?? Haaah..” aku menghela nafas dan tetap berjalan menuju perpustakaan.
#Flashback mode : OFF#
Cowok itu mengamatiku, aku merasakannya dan berbalik menatapnya. “Lo tau kenapa lo ada di sini? Di ruangan ini?” Darma menekan kata-katanya.
“G-g-g-gue…” kutatap lantai biru itu, kuedarkan pandanganku ke setiap sudut ruangan dan tak kutemukan apapun, aku kembali menatap matanya yang tajam, gelap.
“Apa!?” bentaknya.
“Lo bentak gue!? Apa maksud lo?”
“Gue gak mau lo ada di ruangan ini,” air mukanya berubah. Tempat apa sih ini!? Semua orang cepet banget ganti-ganti rupa, batinku.
“Kenapa? Gue ganggu elo? Gue heran sama orang-orang di sini,” aku mulai berjalan mengelilingi tubuhnya yang sepuluh senti lebih tinggi dariku.
“Please, Ra,” Darma menunduk, suaranya berat. Seketika aku berhenti tepat di depannya. “Please,” kata itu terucap lagi.
“Apa?” tanyaku, berubah lembut menyadari kondisi Darma yang juga seketika berubah.
“Gue mau lo pulang.”
“Pu-pu-pulang?” alisku bertaut. “Kalo gue tau cara pulang, gue udah pulang dari kemaren-kemaren,” ucapku pelan sambil menunduk dalam-dalam, menahan tangis.
“Gue tau, karena gue yang bawa lo ke sini, dan ga ada ‘kemaren’,” ucapnya parau.
“Lo?”
“Iya, ini salah gue,”dia menangis tertahan di depanku. “Jangan deketin gue, jangan sentuh gue, seujung rambutpun jangan,” ucapnya pelan namun tegas. “Gue tau lo penyayang, orang yang ga lo kenalpun lo sayang. Gue ikutin lo terus, lo tau?”
“Lo? Tunggu,” Darma mendongakkan kepalanya, aku terkesiap dan mundur beberapa langkah ke belakang. “Caesar??”
“Lo gak nyangka, kan? Ini salah gue.”
“Kenapa?” penglihatanku mulai kabur, buliran air mata siap jatuh ke pipiku dan terus ke lantai biru kelam itu.
“Maaf,” dia terisak. Kami berdua menangis tertahan. Tangis yang tak pernah kubayangkan sesaknya. “Apa gue buat lo sakit?” dia bertanya padaku dengan suara yang sudah kembali tenang, mata yang tenang tapi penuh rasa sakit, kelam.
“Gue sakit banget,” aku mengusap pipiku, mataku panas. “Lo aneh, kaya orang-orang sini,” kataku tersenyum sinis, “Gue iri sama lo.”
“Gue tau, itulah kenapa gue bawa lo ke sini.”
“Ga ada tidur di sini, gak ada kemarin ataupun besok, sekarang gue tau kenapa tempat ini aneh. Tempat paling menyedihkan,” aku tersenyum sinis.
“Maaf, Ra. Mungkin mata gue udah buta, tapi gue sayang sama lo, lo terus menutup-nutupi kesedihan lo dengan merasakan kesedihan orang lain, itu gak baik buat lo.”
Aku tersenyum getir, “Lo bener, dan sekarang gue tau kenapa tiap tempat di ‘pekarangan’ ini gak ada yang disebut kamar, karena memang tempat tempat ini bukan kamar,” aku menatapnya lemah. “Karena semua ini memang ‘ruangan’ dan bukan kamar.”
“Lo bener, Ra. Gue cuma bisa nangis di sini, karena itu, gue pilih ruangan ini,” akunya padaku dengan senyum pahitnya itu ~lagi. “Dan ternyata, ‘pekarangan’ ini bukan tempat lo, Ra.”
“Karena ga ada satupun tempat latihan ataupun ruangan yang pas buat gue, gue di ruang makan.”
“Ini salah gue, Ra,” Darma memejamkan matanya, lama.
“Berhenti salahin diri lo, gue gak mau lo sedih, asal lo tau ya, gue… gue…”
Hening.
“Gue ga bisa hidup tanpa lo,” akuku akhirnya.
“Gue tau, Ra, gue awasin lo tiap hari.”
“Bangunin gue sekarang,” pintaku.
“Gue ga bisa,” jawabnya lesu, sedih.
“Karena lo harus jaga tempat ini ‘kan?” tanyaku.
“Iya, gue juga tau lo nguping ‘kan? Lo nangis waktu denger itu dan lo juga bingung kenapa Kak Canggih bilang ‘mereka bertiga’ ada di samping lo, ya ‘kan?”
“Kok lo…?” aku tersenyum, menyadari tak ada yang bisa kuelakkan darinya. “Berapa lama gue tidur?” tanyaku akhirnya.
“Dua minggu, dua hari.”
“Dan lo?” tanyaku lagi.
“Tiga tahun, dua bulan dan tiga hari.”
“Jadi ini yang lo lakuin? Lo tinggalin gue gitu aja?”
“Lo tau, Ra, gue sayang sama lo,” ucapnya, suaranya kini memilukan.
“Ga ada kata ‘kemaren’ kan? Ga ada apapun di sini, dan ini bukan tempat gue, juga bukan tempat lo.”
Kami kembali terdiam, lama. Mulai kurasakan kebenaran yang bisa ku tangkap dengan panca indraku. Tak ada udara, angin, benda, makanan. Yang ada hanya ‘ruangan’ yang menyedihkan. Aku menangis.
“Maaf, Ra, gue ga bisa sentuh lo. Gue pengen banget peluk lo kaya dulu, tapi gue gak bisa.”
“Tapi Kak Canggih bisa, apa itu berarti dia juga baru dateng kaya gue?” tanyaku datar.
“Ya, tapi lo udah merinding waktu lengannya ngenain tengkuk lo, lo tau kenapa?” tanya Darma.
“Dia hampir kaya lo, semua yang di sini orang-orang baru,” jawabku, menunduk dalam-dalam.
“Lo…” Darma memalingkan wajahnya, “Apa lo masih sayang sama gue?” Aku mendongak.
“Lo bakal coba bilang sama Kak Anas, dengan tampang memelas lo, kalo lo mau anterin gue balik ke dunia, tapi dengan syarat lo juga harus ikut gue selamanya, ya ‘kan?” aku menebak.
“Lo bener, Ra, gue harus hidup lagi dan ninggalin tanggung jawab gue di sini supaya gue bisa hidup di dunia dan ngelepas semua kabel yang dari dulu sampe sekarang masih setia terpasang di tubuh gue,” aku Darma, tatapannya melembut.
“Lo gak berubah,” gumamku, “Lo gak pernah bohong sama gue, dan gue yakin lo gak bisa. Caesar Darma, gue masih sayang sama lo, lo tau?” Kami tersenyum. “Gue akan bawa lo balik ke dunia, dan setelah waktu lo abis, waktu gue juga abis. Kak Anas ‘kan yang ngatur?”
“Gue sayang sama lo,” ucapnya, kabut putih melingkar di tengkuknya.
“Kak Anas juga kaya gitu tadi,” ucapku heran.
“Ini pertanda seberapa besar keinginan lo untuk balik ke dunia,” jawabnya sambil tersenyum melihat kabut putih yang semakin menyelubungi tubuhnya. “Lo bisa masuk ke sini, efek ini gak lama, Ra,” ucapnya sambil meraih tanganku.
“Gue cuma pengen satu hal dari lo,” ucapku sambil memegang dan mengusap pipinya lembut.
Darma merengkuh tubuhku dan memelukku erat. Sangat erat. Kami menangis.
##
Kabut putih itu memudar, aku segan untuk melepaskan pelukannya, pelukan yang kurindukan tiga tahun silam saat Darma meninggalkanku bagitu saja tanpa kabar dan aku memutuskan untuk membuangnya jauh-jauh. Kekacauan dalam diriku seketika menghilang saat kutatap kedua bola matanya yang kini telah berganti warna, sedikit lebih terang.
“Ayolah, Ra, kabutnya udah hampir abis nih,” ucapnya setelah mencium lembut bibirku sekali lagi.
“Lo yang lepasin gue, siapa suruh lo peluk-peluk gue,” kataku sedikit membentak namun manja.
“Gue lupa,” ucap Darma sambil mendorongku lembut menjauhi tubuhnya. “Gue sayang sama lo, Ra.”
“Gue…” aku paling tidak suka muluk-muluk, tapi untuk kali pertama, aku akan melakukannya. “Gue cinta sama lo, Caesar Darma,” aku tersenyum, sangat bahagia.
##
“Kak Anas,” aku mengetuk pintu ruangan ungu itu.
“Kalian berdua, masuk,” suruhnya.
“Berdua?” gumamku, sedetik kemudian aku menyadari kehadiran sesosok makhluk yang kukenal. “Caesar,” bisikku, Darma tersenyum mengejek. “Iya, Kak.”
“Gimana, Kak?” tanya Darma sebelum aku sempat duduk.
“Setelah Kakak pikir-pikir, mungkin kalian memang harus menyelesaikan masalah kalian di dunia dulu,” ucap Kak Anas, tersenyum. “Aku ikut bahagia buat kalian.”
“Makasih, Kak,” ucapku malu, rona merah menyapu wajahku.
“Thanks, Kak, aku udah ga tahan pengen jalan-jalan lagi sama dia,” sahut Darma membuat wajahku bertambah merah.
“Apaan sih lo, bikin malu aja,” gerutuku pada Darma yang hanya ditimpali senyum oleh Kak Anas.
“Sekarang kita ke gudang,” ucap Kak Anas sambil bangkit berdiri. Kami berjalan ke gudang di pojok kanan belakang ‘pekarangan.’ Sangat gelap, pengap, lembab. Banyak barang-barang yang bisa benar-benar kusentuh di sana, benar-benar manusiawi.
“Lo pulang, Ra,” hanya kalimat itu yang ku dengar dari Darma dan muncul cahaya putih terang menyilaukan dari dalam gudang, aku terkesiap dan seketika tertarik ke dalamnya. Hanya terlihat samar dua siluet tubuh.
############
Kubuka mataku, kulihat sekelilingku, putih. “Caesar?” aku menunggu, tak ada yang datang. Seketika aku menyadari bahwa aku sudah kembali ke kehidupanku sebenarnya, dunia. Caesar, aku sayang sama kamu, batinku.
“Kak Ima?” suaraku parau, kulihat Kakakku tertidur di samping ranjangku. “Ayah,” kulihat Ayah tertidur juga di sofa. “Kak Ima?” panggilku lagi,mencoba lebih keras, Kak Ima cepat-cepat bangun dan langsung memencet tombol pemanggil dokter. “Aku coba cari tombol itu, Kak, tapi gak nyampek, hehehe,” aku tersenyum lebar.
Tak sampai tiga menit, seorang dokter memeriksa keadaanku, aku masih tetap terpejam, tak melihat siapapun. Dokter itu memeriksa denyut jantung, tekanan darah dan pupil di mataku. Silau, pikirku yang membuatku mengerjapkan kedua mataku dan melihat sosok yang kurindukan beberapa menit lalu.
“Caesar?” gumamku. Dokter itu tersenyum, senyum yang tulus dari hatinya, aku tahu itu.
“Hai, Aira,” ucap Dokter itu lembut sambil membelai rambutku yang panjang. Aku melirik rambutku.
“Siapa yang nambahin rambut pasangan ke rambutku?” semua yang ada di ruangan itu menahan tawa sekaligus memancarkan aura kasihan padaku. Aku menyadarinya, “Berapa lama aku tidur?” tanyaku, mereka semua tersenyum lagi.
“Hampir setahun mungkin,” jawab Kak Ima enteng.
“Apa? Koma gitu?” tanyaku masih tak percaya.
“Terus? Aku lulus gak?” tanyaku mempertanyakan kelulusan SMA-ku pada Kak Ima.
“Kamu peringkat ke-2, sayang,” jawab Kak Ima lembut.
“Caesar? Kenapa kamu pake baju kaya gitu? Jangan bilang kalo kamu Dokter,” ucapku sedikit mendelik.
“Aku magang, sayang,” jawabnya yang membuat pipiku merona. “Muka kamu merah tuh, gak ilang-ilang juga ya dari dulu, hahahaha….” Caesar tertawa lepas.
#########
Dua bulan kemudian, aku sudah diperbolehkan pulang oleh Dokterku yang asli, “Makasih, ya Dokter gadungan,” ucapku pada Caesar yang duduk di belakang kemudi. Kami sedang menuju rumah Chichi, aku meminta Caesar mengantarku ke sana supaya Ayah tidak khawatir.
“Sama-sama, ya, Pasien gadunganku. Hahahaha…” Caesar tertawa lepas. “Ngapain ke rumah Chichi?” tanyanya ketika tawanya berhenti.
“Mau kenalan,” jawabku enteng.
“Kenalan? Sama siapa?” keningnya bertaut.
“Sama Chichi lah, lo kira sama siapa?” aku menyadari ketidaksopananku. “Maaf, aku, masih kebawa mimpi setahun, mungkin, eheh.”
“Gak papa, aku pernah denger kaya gitu kok,” ucapnya, sedikit menenangkanku. “Udah nyampe nih, ayo turun,” Caesar membuka pintu di samping kanannya dan segera memutari mobil biru kelam itu, membukakan pintu untukku.
“Thanks,” ucapku sambil keluar dibantu tangannya yang kecolkatan. Just say that’s a dream only, guys.
“Airaaaa!!!” Chichi memelukku erat di pintu rumah barunya, “Kangen sama kamu, tiap aku ke rumah sakit, rasanya aku mau ikut kamu aja, hiks, hiks,” Chichi mengantarku masuk ke rumahnya.
“Calon suami kamu mana?” tanyaku langsung.
“Ada di atas, aku panggilin dulu ya…” katanya dan berlari menaiki tangga. Anak itu gak berubah, batinku, tersenyum.
“Aira, kenalin, ini calon suami aku,” kata Chichi setelah duduk di seberangku dengan calon suaminya dan aku terkesiap.
“Kak Canggih?” ucapku begitu saja. Mereka bertiga menatapku tak percaya.
“Kamu tau dari mana?” tanya Chichi curiga.
“Eheh, Kak Ima,” jawabku sekenanya. Kebetulan atau memang… ah, entahlah. “Chi, bisa ngomong berdua sebentar?”
“Bisa dong… kalian berdua ngobrol-ngobrol dulu yaa… kangen-kangenan dulu nih,” pamit Chichi pada calon suaminya dan Caesar.
“Chi, kamu mau tau apa yang gak kamu tau?” tanyaku setelah kami berdua duduk di ayunan di halaman belakang rumah Chichi.
“Jelaslah, kamu gimana sih, emang apaan?” tanyanya antusias.
“Aku bohong soal gak pernah punya cowok,” jawabku menahan senyum. “Caesar dulu hilang gitu aja, dan gak ngasih kabar apapun.. aku pendam semua itu sendiri, Chi, maaf..”
“Aku tahu kok,” sahutnya, “Caesar udah cerita semuanya ke aku waktu kamu di rumah sakit,dan kamu tau dia ke mana?” tanya Chichi dengan mata bulatnya yang melebar.
“Dia sering ke rumah sakit juga, iya kan?”
“Kok tau? Dia amnesia, kalian kasihan banget yaa…”
“Eheh, yang penting sekarang kami udah ketemu lagi ‘kan?” ucapku seraya bersyukur. “Kak Rama?”
“Dia..” air muka Chichi berubah, “Kecelakaan, dan sampai sekarang masih koma, dan aku ke rumah sakit gak cuma karena kamu di sana, tapi dua minggu setelah pengumuman kelulusan itu, dia kecelakaan,” ucapnya sedih. Apa yang aku liat di mimpi itu memang Kak Rama? Tapi kenapa dari sekian banyak orang yang aku kenal, aku cuma kenal Kak Rama aja? Kenapa gak dari awal aku tau kalo di ‘pekarangan’itu ada Caesar sama Chichi? Padahal mereka yang paling aku kenal? Kenapa? pertanyaan-pertanyaan aneh tentang ‘pekarangan’ itu datang lagi.
“Maaf ya, Chi… aku akan jenguk Kak Rama besok, oke?” ucapku. Maaf juga ya, Chi.. aku belum bisa cerita tentang ‘pekarangan’ itu ke kamu, karena aku juga gak tau itu mimpi atau bukan…
Setelah puas berbincang dengan Chichi, aku pulang, ingin segera menceritakan semuanya ke Kak Ima.
“Mimpi yang konyol,” gumamku.
“Mimpi apa?” tanya Caesar.
“Nanti kalo kamu jadi suami aku, aku ceritain deh semuanya, okee??” sahutku agak genit. Caesar menepikan mobilnya di pinggir danau, danau yang dulu sering kami kunjungi, tiga tahun lalu. “Kok berhenti sih?” tanyaku bingung.
“Aku mau kamu jadi istriku sekarang juga,” katanya mantap, matanya yang biru tajam menatapku, lama. “Mau ‘kan?” tanyanya lembut sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku, hidung kami bersentuhan. Aku tetap membuka lebar mataku.
“Mau apa?” tanyaku lembut, berbisik. Caesar menarik kepalanya.
“Aku kecewa sama kamu, tapi besok, aku gak mau kejadian kaya tadi terulang. Okee, Aira Malva?” katanya sambil tersenyum.
“Siap,” sahutku cepat dan mencium pipi kanannya, wajahnya merona. “Kamu bisa berwarna juga ya?” aku menahan tawaku agar tak meledak melihat wajahnya merah padam, bukan marah, mungkin malu.
#######
Malamnya aku menceritakan semua yang terjadi pada ‘jiwa’ku saat aku tiba-tiba koma pada Kak Ima.
“Jadi ya gitu deh, akhirnya aku ketemu lagi sama Caesar dan Chichi yang namanya Chika Rosieta punya calon suami Kak Canggih, aneh banget ‘kan?” kataku sambil manggut-manggut.
“Iya, hahaha… Trus, kamu mau tau gak, siapa nama calon kakak ipar kamu?” tanya Kak Ima padaku.
“Jangan bilang ….” Aku menutup mulutku.
“Iya adekku, sayang, namanya Anas, Anas Prasad,” Kak Ima tersenyum.
“Aneh memang…. tapi di 'mimpi' itu, Caesar seumuran sama aku, padahal dia 'kan harusnya seumuran Kak Rama, kakaknya Chika."
"Mimpi kamu aneh, tapi juga unik, udah tidur sana, besok kita cari kampus yang cocok buat kamu."
"Okedeka..." Aku berjalan meninggalkan Kak Ima menuju kamarku yang dicat biru muda.
Aku berbaring di kasur empuk, membayangkan menggunakannya untuk tidur di ruangan biru kelam dengan pintu bertuliskan ‘DARMA’
"Kontras banget," gumamku.
Aku terduduk memikirkannya, tersenyum sendiri dan berkata, “Lo cuma mimpi, Aira.”